Opini

Mencontoh Kepemimpinan Ulama

×

Mencontoh Kepemimpinan Ulama

Sebarkan artikel ini

foto : ilustrasi
Penulis : Suratman Dano Mas’ud, Aktivis PMII, Biro Hukum Dan HAM.
Di tengah-tengah ramainya pesta demokrasi di tanah air Indonesia, syarat seorang pemimpin yang baik menjadi perbincangan yang tidak kalah pentingnya dari pada melihat siapa sosok siapa yang akan bertarung di ring panggung demokrasi bangsa ini. Hal ini menunjukan bahwa tipe atau syarat kepemimpinan harus sesuai dengan keinginan masyarakat bukan karena kepentingan polotiknya melainkan karena tuntutan hati nurani yang merasa cemas dan gelisa melihat perwakilannya di kursi kekuasaan tidak mamapu menjawab kebutuhan dan tuntutan bangsa sehingga diharapkan kelak syarat seorang pemimpin yang baik dan merakyat harus mampu menjawab harapan masyarakat Indonesia.
Jauh sebelum memasuki era moderen seperti sekarang ini, sosok-sosok pemimpin yang dipelopori oleh para Ulama telah membuktikan dan mengharumkan nama bangsanya, agama maupun ras dan golongan. Menahkodai umatnya umatnya menuju sebuh negara atau bangsa yang baldatun toibatun warabun gafur. Menyatukan seluruh perbedaan menjadih sebuah keniscayaan dan memaknainya sebagi rahmat dengan mendorong perilaku atau moralitas sebagai panutan dan contoh dalam memimpin untuk menuju kepentingan bersama atau kepentingan orang banyak. Sebagaimana yang disemangati oleh Hadist Nabi Muhammad Saw, “Sesungguhnya aku (Muhammad) diutus untuk menyempurnahkan akhlak”. 
Hal ini dapat kita jumpai salah seorang ulama terkenal dari sekian banyak ulama yang memiliki tipe kepemimpinan yang digambarkan melalui akhlaknya yakni, Syekh Abdul Qadir al-Jailani yang meletakan kejujuran sebagai maqam ruhani yang tinggi. Suatu riwayat menceritakan, ketika suatu hari Dia (Syekh Abdul Qadir al-Jailani) melihat para jamaah haji sedang wukuf di Arafah lalu mendatangi ibunya dan meminta izin untuk bersama-sama orang yang menempuh jalan kebenaran dan dekat dengan Allah. Ketika ibunya menanyakan alasan yang tiba-tiba itu, lalu diceritakan hal yang terjadi padanya berupa hidayah, lalu ibunya menangis dengan sedih. Kemudian mengeluarkan delapan puluh keping emas, harta satu-satunya warisan ayahnya, lalu membagikannya separoh buat saudaranya dan separoh lagi buatnya serta memberikan ijin untuk pergi seraya berwasiat agar selalu bersikap jujur apapun yang terjadi.
Sebelum berpisah ibunya berkata “Anakku, semoga Allah menjaga dan membimbingmu. Aku ikhlas melepas buah hatiku karena Allah. Aku sadar aku takan bertemu lagi denganmu hingga hari kiamat”. Setelah itu ia pergi bersama kafilah kecil menuju Baghdad. Belum lama meninggalkan kota Hamadan, segerombolan perampok berkuda datang dan merampas harta bawaan kafila. Salah seorang datang kepadanya dan bertanya, “Anak muda apa yang kau miliki?” lalu ia menjawab aku punya empatpuluh keping emas. Ia bertanya lagi, “Di mana?” kukatakan di bawa lenganku. Ia tertawa-tawa dan pergi meninggalkannku. Begitu juga dengan yang kawannya yang lain ketika menghampirinya dan menenyakan hal yang sama, ia menjawab hal yang serupa. Tetapi sepert kawannya, ia pun pergi sambil tertawa-tawa mengejek. Kedua perampok itu mungkin memberitahui pimpinannya, tak lama kemudian ia dipangil menghadap pimpinannya. Si pimpinan mengajukan pertanyaan yang sama dan ia pun menjawab hal yang sama. Akhirnya setelah menyobek kantong dilengannya, ditemukan empatpuluh keping emas itu.
Keheranan, si pimpinan itu bertanya, “Mengapa engkau memberi tahu kami, padahal hartamu itu amat tersembunyi?” Jawabannya, “Aku harus berkata jujur karena telah berjanji kepada ibuku untuk selalu bersikap jujur”. Mendengar jawabannya, pimpinan perampok itu tersungkur menangis dan berkata “Aku ingat janjiku kepada Dia (Allah SWT) yang telah menciptakanku”. “Selama ini aku telah merampas harta orang dan membunuh. Betapa besar bencana yang menimpaku!?”. Anak buahnya yang menyaksikan itu berkata “Kau pemimpin kami dalam dosa. Kini, pimpinlah kami dalam taubat!”.
Kisah ini tentu sangat relevan, jika kita hubungkan dengan kehidupan sekarang seperti kondisi pemimpin bangsa terlebih lagi dengan syarat yang layak bagi sosok pemimpin di tengah pesta demokrasi Indonesia. Bahwa kejujuran adalah seperti hujan dimusim kemarau. Banyaknya kasus korupsi di negara kita tercinta Indonesia mulai dari pusat sampai ke daerah dan kabupaten/kota. Akibat hilangnya salah satu sifat yang harus dimiliki seorang pemimpin yaitu kejujuran. Ketidak jujuran dalam konteks sekarang, seperti korupsi, penipuan investasi, pungutan liar dan sebagainya. Tentunya sangat meresahkan dan menyengsarakan masyarakat. Ada adigium yang berkembang di tengah-tengah masyarakat, bahwasanya pemimpin yang hadir di tengah masyarakat saat ini bukanlah pemimpin yang lahir dari hati nurani rakyat, namun pemimpin yang keluar dari rahim partai politik. Tidak heran jikalau problem yang terjadi dibangsa ini mereka lebih sering mementingkan partai politiknya ketimbang rakyat yang semakin ditindas dan dihisap oleh kepentingan global.
Oleh karenanya, mengutip pendapatnya Ali Syari’ati “merumuskan sebuah umat dan masyarakat yang ideal adalah sebagai masyarakat beragama yang menjunjung tinggi ke-Ilahiyah-an Allah, Tuhan Yang Maha Esa dan menghargai kemanusiaan secara merata yang ditandai dengan persaudaraan tanpa kelas dan tanpa tembok pemisa”. Mengutip salah satu analis Barat, Prof. Dr. Robert I Rotberg, Direktur program Konflik Jhon F. Kenendy School of Government, Harvard University, menegaskan bahwa krisis multidimensi di Indonesia membutuhkan solusi yang efektif dan cepat. Bagi Indonesia, sangat penting memiliki pemimpin yang kuat, visioner dan legitimate. Ketiganya merupakan keharusan, sebagai condotion sine qua non, mengingat Indonesia saat ini berada di zona bahaya atau zona merah dari sebuah negara-negara (nation bulding) lemah, yang bergerak menuju negara gagal.
Dengan demi kian, ketegasan seorang pemimpin yang ditopang oleh karakter yang jujur dan menjiwai penderitaan rakyatnya, sangat dibutuhkan untuk menyelamatkan bagsanya dari keterpurukan pendidikan, ekonomi, politik, demokrasi, hukum dan keadilan dinegeri ini ditambah lagi dengan pengarug politik luar negeri, sistem kapitalisme yang merajalela yang membabibutakan dan menghancurkan tatanan sosial masyarakat. Hal ini merupakan agenda penting yang harus ditangapi oleh setiap pemimpin atau penguasa di negeri ini.
Kabiro Maluku Utara : Iksan Togol
Editor : Didit Siswantoro
Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *