Opini

Kecurangan dan Etika Bisnis Kasus Mega Korupsi PT. Asuransi Jiwasraya

×

Kecurangan dan Etika Bisnis Kasus Mega Korupsi PT. Asuransi Jiwasraya

Sebarkan artikel ini

 

Abstrak

Penelitian ini bertujuan melakukan penelaahan secara falsafah sains dan etika bisnis atas kasus mega korupsi di PT Asuransi Jiwasraya yang telah merugikan para pemegang polisnya dan juga berdampak pada kepercayaan masyarakat untuk melakukan investasi melalui asuransi.

Selain itu penelitian ini juga memaparkan beberapa solusi yang dapat diambil terutama oleh para pembuat kebijakan dan pemerintah sebagai salah satu pemegang saham dari perusahaan asuransi plat merah ini. Metode penelitian yang dilakukan adalah metode Metode literature atau studi kepustakaan dilakukan dengan mencari data atau informasi melalui riset melalui membaca jurnal ilmiah dan dapat diakses melalui jaringan informasi internet atau melalui media social dimana mengungkapkan kasus PT. Asuransi Jiwasraya. Hasil penelitian ini menyimpulkan PT Asuransi Jiwasraya (Persero) telah lalai dalam melakukan pengelolaan penempatan dana investasi dan terdapat pelanggaran dalam membuat serta menyampaikan laporan keuangan yang tidak memperhatikan ketentuan mengenai standar akuntansi keuangan serta ketentuan yang berlaku. Hal tersebut menjadi bukti bahwa kurang efektifnya tata kelola perusahaan dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG) oleh PT Asuransi Jiwasraya. Solusi yang ditawarkan adalah memperkuat implementasi good corporate governance dalam pengelolaan perusahaan.

 

Pendahuluan


Pada Desember 2019, dunia investasi di Indonesia dikejutkan oleh pengumuman yang dilakukan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya yang menyatakan ketidakmampuan membayar klaim polis nasabah sebesar Rp 12,4 triliun seperti yang dikutip dari laman www.bbc.com. Di bulan Januari 2020, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap kerugian yang diderita Jiwasraya dari perdagangan saham sebesar Rp 6,4 triliun. Hal ini yang diduga menjadi penyebab kegagalan PT Asuransi Jiwasraya dalam membayar klaim nasabah (www.cnnindonesia.com ). Penyebab kegagalan membayar ini adalah adanya salah satu produk Jiwasraya yakni JS saving Plan. Produk ini diluncurkan pada tahun 2015. Produk ini menjanjikan tingkat imbal hasil yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari tingkat bunga deposito yang berlaku saat itu, namun dana yang diperoleh dari produk ini diinvestasikan pada instrumen saham dan reksadana yang berkualitas rendah. Reksadana menempatkan dana yang disebut di atas pada saham-saham seperti PT Trikomsel Oke (TRIO), PR Sugih Enegy (SUGI) dan PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP).
Kinerja keuangan PT Asuransi Jiwasraya sebenarnya sudah mengalami kemunduran sejak tahun 2002, bahkan di tahun 2006 Jiwasraya pernah melakukan manipulasi laba sebagaimana yang pernah diungkap oleh BPK, Tahun 2014 meskipun kinerja keuangan Jiwasraya tidak mengalami kenaikan, namun Jiwasraya memberikan sponsor kepada salah satu klub sepak bola dunia yaitu Manchester City. Kondisi kinerja perusahaan semakin memburuk dan untuk memperbaikinya perusahaan meluncurkan suatu produk yang diharapkan akan menaikkan kinerja perusahaan, yakni JS saving Plan pada tahun 2015 namun sebagaimana disebutkan di atas, penempatan dana dari produk ini tidak dilakukan pada instrumen-instrumen investasi yang berkualitas. Tahun 2017, PT Asuransi Jiwasyara kembali mendapatkan opini tidak wajar dari BPK akibat adanya kekurangan pencadangan sebesar Rp 7,7 triliun. Akhir tahun 2018, PT Asuransi Jiwasraya (AJS) kembali membukukan kerugian unaudited sebesar Rp 27,2 triliun. PT Asuransi Jiwasraya (AJS) terlambat menyampaikan laporan keuangan 2018, OJK mengenakan sanksi sesuai dengan ketentuan berlaku. OJK mengeluarkan izin pembentukan anak usaha PT Asuransi Jiwasraya (AJS) yaitu Jiwasraya Putra yang merupakan salah satu bagian dari rencana penyehatan keuangan yang telah disetujui oleh Kementerian BUMN selaku pemegang saham. Dirut PT Asuransi Jiwasraya (AJS) menyatakan membutuhkan suntikan modal Rp 32,89 triliun untuk memenuhi rasio kecukupan modal berbasis risiko (RBC). Aset perusahaan tercatat hanya sebesar Rp 23,26 triliun, sedangkan kewajiban sebesar Rp 50,5 triliun. Terjadi ekuitas negatif Rp 27,24 triliun. Liabilitas JS Saving Plan yang bermasalah sebesar Rp 15,75 triliun. Sebagai akibat dari kondisi keuangan AJS yang buruk tersebut, di mana AJS seharusnya berfungsi memberikan perlindungan kepada pemegang polis dan menghimpun dana dari premi untuk diinvestasikan kembali, tidak hanya berpengaruh negatif terhadap internal perusahaan, namun juga berpengaruh terhadap pihak eksternal yaitu para pemegang polis, masyarakat luas, industri asuransi dan kegiatan investasi.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas rumusan masalah yang dianalisis pada tulisan ini adalah sebagai berikut:

Apa saja praktik-praktik etika bisnis yang dilanggar dalam mega kasus PT Asuransi Jiwasraya?

Solusi-solusi apa yang ditawarkan bagi pemangku kepentingan dalam bentuk penetapan kebijakan, pengambil keputusan dan operasional perusahaan?

Kecurangan
Kecurangan (Fraud) Secara umum fraud merupakan suatu perilaku yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab dan digunakan untuk menguntungkan diri sendiri tanpa memikirkan kepentingan orang lain. Albrecht (2012:6) mengemukakan dalam bukunya “Fraud examination” menyatakan bahwa: “Fraud is a generic term, and embraces all the multifarious means which human ingenuity can devise, which are resorted to by one individual, to get an advantage over another by false representations. No definite and invariable rule can be laid down as general proportion in defining fraud, as it includes surprise, trickery, cunning and unfair ways by which another is cheated. The only boundaries defining it are those which limit human knavery”.

Dari pengertian kecurangan (fraud) menurut Albrecht, kecurangan adalah istilah umum, dan mencakup semua cara dimana kecerdasan manusia dipaksakan dilakukan oleh satu individu untuk dapat menciptakan cara untuk mendapatkan suatu manfaat dari orang lain dari representasi yang salah. Tidak ada kepastian dan invariabel aturan dapat ditetapkan sebagai proporsi yang umum dalam mendefinisikan penipuan, karena mencakup kejutan, tipu daya, cara-cara licik dan tidak adil oleh yang lain adalah curang. Hanya batas-batas yang mendefinisikan itu adalah orang-orang yang membatasi kejujuran manusia.

Konsep Utiliti (Consequenctialism: Utilitarianism)

Konsep utiliti diperkenalkan pertama kali oleh John Stuart Mill (1806-1873) (John S. Mill, 1879). Mill memperbaiki teori utiliti dari gurunya Jeremi Bentham (1748-1832) dengan yang dikenal sebagai Hedonistic Calculus. Pada dasarnya Bentham mengatakan bahwa membuat sejumlah keputusan moral harus berdasar pada analisa biaya dan keuntungan (cost and benefit analysis) yang bertujuan untuk memaksimalkan hasil yang pada akhirnya memuaskan para pembuat keputusan.

Konsep Deontology (Non-Consequenctialism: Deontology)
Konsep ini dikenalkan oleh Immanuel Kant (1724-1804) yang mengatakan bahwa apa yang membuat manusia itu unik adalah karena kemampuan mereka untuk membuat mereka sendiri itu rasional dan memperhatikan moral secara mandiri. Jadi Kant mengatakan bahwa rasional dan mandiri dalam membuat keputusan yang memperhatikan moral adalah dua komponen yang sangat penting. Tapi tentunya keputusan yang menyangkut moral bukan atas nama individu sehingga tiap individu akan melakukan apa yang disukai, tapi keputusan yang menyangkut moral ini berdasar pada standar atau formula yang disebut sebagai “Categorical Imperative”.
Etika Bisnis
Etika menurut Elder (2011) dalam (Purnamasari & Hernawati, 2013) didefinisikan sebagai perangkat prinsip moral nilai yang dimiliki masing-masing orang memiliki nilai yang berbeda. Sementara Rahmaniyah (2010) mendefinisikan etika sebagai suatu ilmu yang membicarakan masalah perbuatan dan tingkah laku manusia, mana yang dapat dinilai baik dan mana yang dapat dinilai buruk dengan memperlihatkan amal perbuatan manusia sejauh yang dapat dicerna akal pikiran (Velasquez, 2014). Ruang etika adalah bukan pada kesesuaian antara tindakan dengan aturan yang ada, melainkan baik atau tidaknya tindakan dengan kaidah-kaidah normatif pada umumnya. Etika pada suatu kelompok sosial dapat berbeda dengan kelompok sosial lainnya, tergantung nilai-nilai yang dianut oleh masing-masing kelompok. Oleh karena itu, dalam penerapan etika bisnis dalam suatu organisasi, digunakan etika yang berlaku universal.
Beberapa perusahaan besar di dunia pernah mengalami skandal yang berpengaruh pada reputasi perusahaan. Perusahaan-perusahaan besar di dunia menyadari, membangun stakeholder trust di perusahaan maupun dunia industri merupakan unsur yang penting bagi perusahaan dalam menjalankan operasinya. Dalam menghadapi skandal di perusahaan yang dapat menjatuhkan reputasi perusahaan (Fombrun & Foss, 2004) memberikan Langkah-langkah yang dapat dilakukan perusahaan yakni:
1. Memasukkan dalam budaya perusahaan pemahaman yang lebih dalam tentang prinsip dan praktik etika dalam perusahaan. Setiap tahun para karyawan mengikuti pelatihan tentang etika dan setiap karyawan dimungkinkan melaporkan adanya pelanggaran etika dan perusahaan wajib merahasiakan identitas si pelapor. Boeing sejak tahun 2004 telah berkomitmen untuk mengadopsi etika dalam pengambilan keputusan dan penerapannya. Gale Andrews, Chief Ethics Officer Boeing menyatakan: “mistakes are still made, but the key is the underlying moral intens”.
2. Menunjuk seorang Chief Ethics Officer di setiap perusahaan. Chief Ethic Officer bertanggung jawab langsung pada Presiden direktur dan Dewan Direksi. Selain bertanggung jawab menyelenggarakan pelatihan etika sekali dalam setahun, contoh yang dilakukan Chief Ethics Officer di beberapa perusahaan besar ini akan memberikan gambaran peran mereka dalam perusahaan. Chief Ethics Officer pada Dell bertanggungjawab pada penanganan isu keberagaman di perusahaan. Sejak tahun 1992 dibentuk The Ethics Officer Association yang yang beranggotakan lebih dari 995 anggota, di mana separuh anggotanya berasal dari Fortune 500 company dan tersebar di seluruh dunia.
3. Penekanan lebih atas code of conduct. Dibutuhkan komitmen yang kuat dalam penerapan etika dalam perusahaan, hal ini dapat dilakukan dengan: mendefinisikan kembali nilai yang dianut perusahaan, memiliki pendanaan dan staf yang kompeten dalam menangani program etika, memasukkan etika dalam visi dan misi perusahaan, membuat ethics code atau code of business conduct, mendorong otonomi pelaksanaan etika di antara karyawan, globalisasi program etika, update terhadap isu-isu etika terkini, menyelenggarakan program pelatihan etika yang menyeluruh, mengintegrasikan etika dalam semua aspek komunikasi perusahaan dan masih banyak lagi.
Etika Dalam Industri Asuransi
Etika dapat berlaku secara umum, mengacu pada nilai-nilai universal yang berlaku di masyarakat. Etika juga dapat berlaku khusus seperti etika profesi di mana masing-masing industri atau profesi dapat menyusun pedoman etika yang disesuaikan dengan kondisi industri atau profesi tersebut. Demikian juga halnya dengan industri asuransi mempunyai etika profesi yang disusun berdasarkan nilai-nilai perusahaan serta tidak menyimpang dari peraturan yang berlaku dalam hal ini aturan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai regulator terkait dengan Good Corporate Governance (GCG). Adapun prinsip GCG yang dianut dalam etika profesi industri asuransi meliputi keterbukaan, akuntabilitas, pertanggungjawaban, kemandirian dan kesetaraan dan kewajaran (Pradana & Rikumahu, 2014).

Cognitive Biases

Menurut Theory of Behavioral Economics manusia adalah makhluk rasional, namun dalam rasional yang terbatas dan akan menjadi tidak rasional yang mendorong terjadinya systematic thinking error, antar lain berperilaku yang mencerminkan cognitive bias. Cognitive bias didefinisikan sebagai adanya deviasi yang menunjukkan pola yang sistematis pada norma atau rationality judgement (Marshall, Trimmer, Houston, & McNamara, 2013). Manusia menciptakan sendiri persepsi mereka secara subyektif.

Agency Theory

Menurut (Jensen & Meckling, 1976) hubungan keagenan dijelaskan sebagai hubungan antara principal yang memiliki modal dengan agent yakni pihak yang dikontrak untuk mengelola perusahaan dan bertindak sebagai pengambil keputusan, dalam hal ini manajemen, Masing-masing pihak, yakni prinsipal dan agen memiliki kepentingan. Prinsipal memiliki kepentingan memperoleh keuntungan yang besar dan dapat meningkatkan wealth. Agen selalu berupaya untuk memaksimalkan keuntungan pribadinya sendiri, hal tersebut dinamakan konflik kepentingan atau agency conflict.

Fraud Triangle

adalah suatu tindakan kecurangan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dengan tujuan menguntungkan pribadi masing-masing dengan cara melakukan abuse of power. Contoh abuse of power termasuk penyalahgunaan wewenang dalam mengelola perusahaan, memanipulasi laporan keuangan dan penyalahgunaan dalam menggunakan sumberdaya milik perusahaan (Abdullahi & Mansor, 2015). Menurut (Cressey, 1950) fraud dipicu oleh tiga hal, yakni: 1) pressure, 2) opportunity dan 3) rationalization. Pressure atau tekanan adalah ketika seseorang melakukan fraud akibat adanya tekanan, baik dari dalam pribadi seseorang tersebut atau dari luar.

Fraud Diamond Theory

Pada tahun 2004 (Wolfe & Hermanson, 2004) mengamati fenomena fraud yang terjadi dalam dunia bisnis dan menambahkan satu elemen pemicu fraud yakni Capability. Menurut (Wolfe & Hermanson, 2004) seseorang melakukan fraud meskipun ada kesempatan namun tidak memiliki kapabilitas yang mumpuni, hal tersebut akan sulit dilakukan dan terdeteksi oleh pihak pengawas.

Fraud Pentagon Theory

Teori terakhir dari fraud adalah fraud pentagon, menurut (Crowe, 2011) dalam (Bawekes, Simanjuntak, & Daat, 2018), Crowe menambahkan elemen arrogance dalam elemen-elemen pemicu fraud. Arrogance atau arogansi didefinisikan sebagai sikap yang menunjukkan bahwa adanya internal control, aturan dan kebijakan yang ada di perusahaan tidak berlaku bagi orang yang melakukan fraud.
Metode dan Analisis
Dalam artikel ini , metode yang digunakan adalah metode literature (S. Fauzi & Lina,2020). Metode literature atau studi kepustakaan dilakukan dengan mencari data atau informasi melalui riset melalui membaca jurnal ilmiah dan dapat diakses melalui jaringan informasi internet atau melalui media social dimana mengungkapkan kasus PT. Asuransi Jiwasraya yang meliputi bagaimana hal tersebut terjadi, latar belakang penyebab dan bagaimana kecurangan perusahaan terhadap kasus tersebut.

Kasus Mega Korupsi PT Asuransi Jiwasraya dari Perspektif Paham Utilatarianisme
Menurut paham Utilitarianisme, bahwa bisnis adalah etis apabila kegiatan tersebut dapat memberikan manfaat bagi konsumen dan masyarakat secara luas. Artinya, kegiatan bisnis dianggap baik apabila dalam praktiknya bisnis tersebut dapat menghasilkan berbagai hal yang baik, bukan sebaliknya menimbulkan kerugian. Nilai positif etika utilitarianisme adalah pada rasionalitas dan universalitasnya.

Rasionalnya adalah kepentingan orang banyak lebih berharga daripada kepentingan individual. Berbisnis untuk keuntungan individu dan di saat yang bersamaan menyejahterakan masyarakat luas adalah pekerjaan profesional sangat mulia. Secara logika universil, semua pebisnis dunia saat ini berlomba lomba menyejahterakan dunia secara universil selain membuat diri mereka menjadi kaya sebagaimana yang dilakukan oleh pebisnis lain di dunia.

Etika bisnis ini juga dapat berguna untuk mempraktikkan kebijaksanaan moral dalam setiap situasi yang dipandu oleh nilai-nilai dan etika. Keunggulan dalam penerapan etika bisnis ini akan menciptakan rasa tujuan bersama antara perusahaan dan pelanggan dalam mengejar tujuan bersama. Keputusan PT AJS meluncurkan produk “JS Saving Plan” yang pada tahun 2013 sebagai bentuk perlindungan kepada nasabah berupa simpanan jangka panjang. Program tersebut dilakukan dengan membayar sejumlah uang dari nasabah kepada PT AJS, kemudian pihak manajemen investasi akan menggunakan dana nasabah untuk membeli saham atau reksadana blue chips.

Namun, kenyataannya PT AJS menempatkan dana nasabah dalam saham junk stocks, saham dengan kriteria ini memiliki ketidak stabilan yang tinggi. Dengan demikian PT AJS mengalami kerugian dan seluruh nasabah tidak dapat mengambil dana kembali. Program ini dinilai menyalahi UU Nomor 40 tahun 2014 Tentang Perasuransian dan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 27 Tahun 2018 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi, karena menurut Kodrat Muis selaku konsultan perbankan, manajemen, dan investasi yang menjadi saksi ahli dalam persidangan mengatakan bahwa istilah saving plan tidak diketahui dalam dunia asuransi, karena produk ini memberi imbal hasil pasti. Tidak hanya itu dalam audit BPK disebutkan, kerugian negara dari kerja sama investasi ini sekitar Rp 12 triliun lebih.

Sebagai manajer investasi, seharusnya dapat mengambil keputusan secara objektif untuk menghasilkan dana bagi nasabah dan bagi operasional perusahaan. Sebaliknya, para manajer tersebut menyalahgunakan kekuasaan yang dimiliki untuk mengambil keputusan yang tidak sejalan dengan tugas jabatannya. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat manipulasi portofolio investasi dari manajemen PT Asuransi Jiwasraya yang tidak menggambarkan integritas sesuai dengan prinsip-prinsip good corporate governance.
Berdasarkan paham utilitarianisme, bahwa PT Asuransi Jiwasraya tidak dapat melakukan etika bisnis dengan baik yang dikarenakan memberikan dampak kerugian kepada nasabah. Minim adanya pengawasan dari pemerintah terutama Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam melakukan audit keuangan PT Asuransi Jiwasraya, sehingga berdampak kepada seluruh aspek baik masyarakat, pemerintah, dan sektor swasta. Kasus korupsi ini memberikan pengaruh kepada penurunan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap seluruh produk asuransi yang hanya memberikan manfaat semu yang dikarenakan kesalahan melakukan investasi pada saham atau reksadana junk stocksyang memiliki volatilitas tinggi (Byars SM, Stanberry K.,2018)

Kajian Kasus Mega Korupsi PT Asuransi Jiwasraya Secara Epistemologi
Jika dilihat dari teori keagenan, dalam hal ini adalah Pemerintah, menuntut perusahaan tersebut memiliki kinerja yang baik dengan ditunjukkan adanya keuntungan yang dibukukan oleh perusahaan. Namun pada kenyataannya sejak tahun 2002, kinerja keuangan PT Asuransi Jiwasraya mengalami kerugian. Hal ini tentu saja berdampak pada pembayaran dividen yang seharusnya diterima oleh pemegang saham. Dewan Direksi menjadi pihak yang harus bertanggung jawab atas perolehan kerugian tersebut. Beberapa kali pemegang saham mengganti jajaran Direksi PT Asuransi Jiwasraya dengan harapan dapat memperbaiki kinerja perusahaan. Tantangan ini bukan dijawab dengan memperbaiki operasional PT Asuransi Jiwasraya, jajaran Direksi membiarkan terjadinya manipulasi laba di tahun 2006 dan menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Dewan Direksi PT Asuransi Jiwasraya (AJS) juga menjawab target yang dibebankan dari pemegang saham dengan meluncurkan suatu produk asuransi di tahun 2015 yaitu JS saving Plan. Produk ini menjanjikan tingkat imbal hasil yang tinggi, bahkan melampaui tingkat suku bunga deposito saat itu. Prediksi manajemen terlaksana, banyak dana terkumpul dari program ini.

Namun pihak manajemen investasi justru menempatkan investasi pada saham-saham berkualitas kurang baik. Untuk menutupi kesalahan tersebut, Manajemen AJS melalui Direktur Keuangan tidak mencatat kekurangan pencadangan senilai 7,7 triliun rupiah di tahun 2017 sehingga kembali memperoleh opini tidak wajar dari BPK. Jika cadangan tersebut dilakukan, maka AJS akan membukukan kerugian. Upaya tersebut dilakukan manajemen salah satunya karena adanya kepentingan sendiri agar dapat memenuhi target pemegang saham.

Pemicu fraud yang dilakukan oleh Dewan Direksi dan jajaran Manajemen AJS ditinjau dari teori fraud diamond antara lain adalah: 1) pressure atau tekanan. Pemerintah sebagai pemegang saham telah menentukan target yang fantastis yang bisa jadi bertujuan memperbaiki kinerja keuangan dalam waktu singkat. Pemegang saham tidak menyadari target yang fantastis dapat memicu BOD melakukan hal-hal bersifat manipulative. Selain itu target investasi yang ditentukan dalam rangka memenuhi janji memberikan tingkat imbal hasil yang tinggi, membuat manajer investasi mengambil langkah dengan menggoreng saham demi memperoleh keuntungan dari saham-saham berkualitas rendah. 2) Opportunity atau kesempatan, dilakukan oleh manajer investasi yang memiliki 3) capability dalam membaca peluang melakukan fraud tersebut. Karena Manajer investasi merupakan orang- orang yang memiliki keahlian dalam berinvestasi dan mereka mampu melihat peluang yang ada, namun keahlian ini disalahgunakan untuk kepentingan pribadi. Terakhir adalah 4) rationalization atau rasionalisasi. BOD menganggap apa yang dilakukan adalah sesuatu hal yang tidak melanggar hukum, karena upaya tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi target yang diinginkan oleh para nasabah.

Prinsip Etika Bisnis yang Dilanggar oleh PT. Asuransi Jiwasraya
Etika bisnis adalah landasan etika dalam perekonomian atau dalam bisnis dan semua pemangku kepentingan untuk menghindari menyimpang dari ekonomi dan mencapai tujuan atau mencari keuntungan (Novita & Husna,2020c), sehingga kita harus menguasai perspektif ekonomi, hukum, etika dan moral untuk mencapai tujuan yang diinginkan (Defia Riski Anggraini, Putri,et al.2021).

Dari kasus Jiwasraya tersebut, dapat diketahui bahwa :
PT Asuransi Jiwasraya (Persero) telah lalai dalam melakukan pengelolaan penempatan dana investasi dan terdapat pelanggaran dalam membuat serta menyampaikan laporan keuangan yang tidak memperhatikan ketentuan mengenai standar akuntansi keuangan serta ketentuan yang berlaku. Hal tersebut menjadi bukti bahwa kurang efektifnya tata kelola perusahaan dengan prinsip Good Corporate Governance (GCG) oleh PT Asuransi Jiwasraya.

Adanya informasi yang tidak diungkapkan kepada para pemegang polis terkait mengapa klaim pemegang polis atas produk asuransi AJS tidak dapat dicairkan.
Kasus yang terjadi pada PT Asuransi Jiwasraya dari sudut pandang utilitariasnime merupakan suatu perbuatan buruk yang menyebabkan kerugian banyak nasabah

Solusi Agar Kasus Serupa Tidak Terjadi Kembali di Indonesia
Penyelesaian hukum tidak bisa diabaikan karena merupakan bagian penting dari perlindungan hukum negara terhadap masyarakat demi terciptanya rasa aman. Oleh karena itu, Penerapan tata kelola perusahaan yang baik oleh industri perasuransian tersebut menjadi salah satu bagian penting dalam menangani risiko.

Apabila penerapan tata kelola Perusahaan Perasuransian dapat berjalan dengan baik, maka manajemen risiko juga akan berjalan dengan efektif. Pelaksanaan Good Corporate Governance perusahaan paling tidak harus memperhatikan beberapa hal, antara lain: a) Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, Dewan Komisaris; b) Kelengkapan dan pelaksanaan tugas Komite Audit; c) Penerapan fungsi kepatuhan, auditor internal dan eksternal; d) Penerapan manajemen risiko, termasuk sistem pengendalian internal; e) Rencana strategis Perseroan; dan Pelaksanaan transparansi kondisi keuangan dan non keuangan Perseroan.

Kesimpulan

Berdasarkan tata kelola perusahaan (Good Corporate Governance) , perusahaan ini telah lalai dalam melakukan pengelolaan perusahaan sehingga mengalami kerugian yang besar dan berdampak terhadap nasabah dan perusahaan itu sendiri.

Tindakan yang dilakukan PT Asuransi Jiwasraya dilihat dari teori utilitarianisme memberikan kerugian yang sebesar-besarnya kepada konsumen dan masyarakat. Jadi kebijaksanaan dan tindakan bisnis yang dilakukan perusahaan tersebut memberikan dampak negatif yang menghilangkan kepercayaan publik.

Dewan direksi melakukan pertanggungjawaban atas kasus tersebut karena melanggar hukum, karena upaya tersebut dilakukan dalam rangka memenuhi target yang diinginkan oleh para nasabah.

Saran

Hendaknya PT Asuransi Jiwasraya melakukan tata kelola perusahaan yang baik agar kasus ini tidak terjadi kembali. Jika perusahaan menjalankan tata kelola perusahaan dengan baik , maka hal ini tidak akan terjadi atau kerugian yang dialami perusahaan tidak mencapai angka yang besar dan merugikan nasabah
Setiap anggota direksi dan komisaris hendaknya bisa menjalankan tugasnya sesuai dengan kewajiban dan wewenangnya yang telah diatur dalam undang-undang dan yang telah dianggarkan perusahaan untuk menghindari penyelewenangan jabatan yang merugikan nasabah dan perusahaan itu sendiri

Daftar Pustaka

Abdullahi, R., & Mansor, N. (2015). Fraud Triangle Theory and Fraud Diamond Theory. Understanding the Convergent and Divergent For Future Research. International Journal of Academic Research in Accounting, Finance and Management Sciences, 5(4), 38–45.

Bawekes, H. F., Simanjuntak, A. M. A., & Daat, S. C. (2018). Pengujian Teori Fraud Pentagon Terhadap Fraudulent Financial Reporting (Studi Empiris pada Perusahaan yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2011-2015). Jurnal Akuntansi & Keuangan Daerah, 13(1), 114–134.

Byars SM, Stanberry K. (2018). Business Ethics. Texas: Rice University. Openstax, 2018.

Cressey, D. R. (1950). The Criminal Violation of Financial Trust Author. American Sociology Review, 15(6), 738–743.

Fombrun, C., & Foss, C. (2004). Business Ethics: Corporate Responses to Scandal. Corporate Reputation Review, 7(3), 284–288.

Fauzi, S., & Lina, L. F. (2020). Peran Foto Produk, Online Customer Review, Online Customer Rating pada Minat Beli Konsumen.

Husna,N., & Novita, D (2020) . Peran Aesthetic Experential Qualities dan Perceived Value Untuk Kepuasan dan Loyalitas Pengunjung Wisata Bahari di Provinsi Lampung. Jurnal Pariwisata Pesona, 5(2), 136-141
Jensen, M. C., & Meckling, W. H. (1976).

Theory of the Firm : Managerial Behavior , Agency Costs and Ownership Structure Theory of the Firm : Managerial Behavior , Agency Costs and Ownership Structure. Journal Of Financial Economics, 3(4), 305–360.

Jurnal Muhammadiyah Manajemen Bisnis, 1(1), 37–47.

https://jurnal.umj.ac.id/index.php/JMMB/article/view/5917.

Marshall, J. A. R., Trimmer, P. C., Houston, A. I., & McNamara, J. M. (2013). On evolutionary explanations of cognitive biases. Trends in Ecology and Evolution, 28(8), 469–473.
Pradana, Y. A., & Rikumahu, B. (2014). Penerapan Manajemen Risiko terhadap Perwujudan Good Corporate Governance pada Perusahaan Asuransi. Trikonomika, 13(2), 195.

Purnamasari, D., & Hernawati, E. (2013). Pengaruh Etika Auditor, Pengalaman, Pengetahuan Dan Perilaku Disfungsional Terhadap Kualitas Audit. Jurnal NeO-Bis, 7(2), 1–17.

Velasquez, M. G. (2014). Business Ethics Concepts and Cases. In Business Ethics (7th ed.). Edinburgh: Pearson Education Limited.
Wolfe, D. T., & Hermanson, D. R. (2004). The Fraud Diamond : Considering the Four Elements of Fraud: Certified Public Accountant. The CPA Journal, 74(12), 38–42.

 

 

Penulis :

Adylah Rivva Abady
Mahasiswa fakultas ekonomi dan bisnis universitas andalas, Magister Akuntansi

 

Dini Fitriyanthi
Mahasiswi fakultas ekonomi dan bisnis universitas andalas, Magister Akuntansi
Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *