foto : ilustrasi
Penulis : Ismir Lina, Kader PC PMII Ternate
Halmahera Utara, Lentera Inspiratif.com
Mengawali tulisan ini, penulis ingin mengajak kita kepada diskursus wacana Kebangsaan dan ke-Indonesiaan yang menjadi polemik di bangsa ini, baik dalam konteks ekonomi, politik, sosial dan budaya. Akhir-akhri ini isu yang berkembang dari pusat hingga ke daerah sangat ramai di perbincangkan baik di televisi, media sosial, media cetak dan bahkan di sudut-sudut warung kopi yang dikerumuni oleh berbagai kalangan mulai dari masyarakat biasa, mahasiswa, akademisi hingga politisi sekalipun, telah menyeret pandangan kita untuk ikut meramaikan diskursus wacana.
Isu yang menjadi hangat diperbincangkan adalah tragedi 65 (G30S/PKI) yang menjadi polemik di bangsa ini, bahkan terjadi tarik-merarik antara satu dengan yang lain terkait siapa korban dan siapa pelaku. Di lain sisi pemutaran film (G30S/PKI) yang baru-baru ini telah di putar kembali, baik dari pusat sampai ke daerah yang dimonotori oleh kalangan militer dengan tema penghianatan PKI terhadap bangsa Indonesia. Hal demikian mengindikasikan sebuah makna yang sangat provokatif terhadap seluruh masyarakat Indonesia mengenai pemutaran film tersebut.
Akibatnya kebenaran sejarah tidak lagi objektif karena berbagai kotraversi sudut pandang yang diutarakan dari masing-masing pihak demi membenarkan pandangannya. Polemik yang demikian telah membenturkan kita selaku anak bangsa di negeri ini. Mengingat perdebatan demi perdebatan yang tidak berkesudahan telah mereduksi pemikiran kita sehingga pertikaian di internal bangsa ini tak kunjung selesai. Kapan bangsa ini dapat berbenah diri, jikalau pertikaian di internal bangsa tak kunjung selesai.? Kenapa sejarah kelam bangsa ini harus diputar kembali, jikalau hanya melahirkan perdebatan yang berujung pada jastifikasi siapa benar dan siapa salah, yang akan berdampak kepada keutuhan dan persatuan bangsa. Bagaimana kita dapat menjalankan demokratisasi jikalau keutuhan dan persatuan bangsa telah tercabik-cabik.
Sudah saatnya kita berbenah diri dan menghentikan pertikaian-pertikaian yang ada di bangsa ini demi menjaga keutuhan dan persatuan bangsa, sejarah kelam bangsa ini harus kita jadikan pelajaran penting untuk membenahi kembali proses jalannya demokrasi di bangsa ini. Mengingat musuh kita bukanlah sesama anak bangsa, akan tetapi kapitalisme global yang telah meggurita atau menghegemoni seluruh seluk-beluk bangsa ini.
Dengan diterapkannya sistem developmentalisme (pembangunan) sebagai sebuah kebijakan untuk diterapkan di negara-negara berkembang salah satunya adalah Indonesia menyebabkan perusahaan-perusahaan besar kapitalisme global memiliki kesempatan untuk mengembangkan usahanya di negara ini secara bebas, sehingga munculnya MNC (Multinational Corporation) dan TNC (Transnational Corporation).
Pasca pemerintah Soekarno berhasil ditumbangkan atas bantuan kekuatan kapitalisme modernisme, maka dengan mudah kepentingan-kepentingan negara kapitalis dapat dijalankan di Indonesia. Sejak saat itu, beberapa strategi sosisal, politik dan ekonomi yang dibangun oleh negara-negara kapitalis mulai diterapkan di bawah payung Ideologi developmentalisme (pembangunan). Ideologi developmentalisme mulai diterapkan oleh pemerintah Orba pada tahun 1968. Hal ini tercermin dalam UU No. 2 Tahun 1968 mengenai penanaman modal asing di Indonesia. Untuk merealisasikan Ideologi tersebut, di bidang ekonomi pemerintah Orba segera melaksanakan konsep W.W. Rostow sebagaimana dipesankan oleh negara donor, seperti tertuang dalam konsep The Stages Of Growth; Five Stages Scheme dan sejenisnya (baca Hasim Wahid ddk, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia).
Untuk merealisasikan konsep tersebut, pemerintah Orba membuat berbagai kebijakan yang mengamankan pertumbuahan ekonomi, meski harus mengorbankan kepentingan bangsa dan mengabaikan amanat rakyat sebagaimana tertuang dalam UUD 1945 dan yang terkandung dalam semangat Pancasila (kajian mendetail tentang ini lihat Mochtar Mas’oed, Richard Robinson, Dwight Y. King dll). Semua rencana ini berjalan dengan mulus berkat bantuan para intelektual dan ekonomi yang telah memperoleh pendidikan yang memadai dari Amerika, seperti mereka yang tergabung dalam Mafia Berkeley.
Selanjutnya upaya negara-negara barat dengan ideologi kapitalismenya guna mempertahankan kepentingan di negara-negara dunia ketiga salah satunya Indonesia melalui ideologi developmentalisme (pembangunan) dapat dilihat dalam buku karya Vandana Shiva yang berjudul “Bebas dari Pembangunan”, penerbit Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Di sini dijelaskan bahwa “pembangunan tidak lain dari sebuah proyek besar pasca zaman penjajahan oleh bangsa asing dari negeri-negeri Utara atas bangsa-bangsa di negeri-negeri Selatan. Proyek ini ditawarkan sebagai sebuah model yang berlaku universal; bahwa kemajuan gaya Barat dapat pula dicapai di semua bidang oleh negar-negara berkembang, cukup dengan mengembangkan kaidah-kaidah ekonomi yang dikembangkan di Barat”.
Sementara itu di bidang sosial, diterapkan konsep-konsep Talcott Parson mengenai strukturalisme fungsional. Hal ini dilakukan sebagai upayah untuk mengubah masyarakat Indonesia menjadi masyarakat modern. Oleh karenanya seluruh perangkat sosial harus diubah dengan bentuk dan stuktur formal yang modern, yang diharapkan bisa lebih efisien dan profesional. Konsekwensinya, kekuatan lain yang dianggap tidak sesuai dengan aturan, tradisi dan kaidah modernitas harus disingkirkan atau diubah menjadi modern (baca Talcott Parson, The Structure of Social Action).
Dengan cara ini negara-negara kapitalis berhasil memperkokoh pengaruhnya di Indonesia. Hal ini terus dipelihara oleh negara kapitalis disamping sebagai upaya mencari keuntungan secara ekonomis, juga sebagai upaya menangkal pengaruh kekuatan komunisme internasional (baca Hasim Wahid ddk, Telikungan Kapitalisme Global dalam Sejarah Kebangsaan Indonesia).(mir)
Kabiro Maluku Utara : Iksan Togol
Editor : Didit Siswantoro