
Lenterainspiratif.id | Jakarta – Surat edaran terkait pemberian Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan Tahun 2021 bari para pekerja atau buruh di perusahaan telah di rilis oleh Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah, dengan nomor surat Nomor M/6/HK.04/IV/2021.
Dalam surat edaran itu disebutkan bahwa THR 2021 wajib dibayarkan oleh pihak perusahaan paling lambat H-7 Lebaran. Namun jika perusahaan tidak mempu membayar pada yang waktu tersebut, maka Tunjangan bagi para pekerja atau buruh dapat dibayarkan maksimal H-1 Lebaran.
Jika para pengusaha membayarkan THR melebihi waktu maksimal pembayaran maka pengusaha akan dikenakan sanksi sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 36 tahun 2021 tentang Pengupahan. Pengenaan sanksi administratif dilakukan secara bertahap.
“Pengusaha yang tidak membayar Tunjangan keagamaan dikenai sanksi administratif berupa, a) teguran tertulis, b) pembatasan kegiatan usaha, c) penghentian sementara sebagian atau seluruh alat produksi, dan d) pembekuan kegiatan usaha,” kata Ida dalam konferensi pers virtual, kemarin Senin (12/4/2021).
Namun meski telah dikenakan sanksi, bukan berarti para pengusaha yang melakukan pelanggaran bisa lepas dari tanggung jawabnya dalam memberikan THR, para pengusaha tetap wajib memberikan hak dari para pegawai atau buruh di perusahaannya, karena hal tersebut sudah diatur dalam perundang-undangan.
Pengusaha yang tidak membayar THR sebagaimana mestinya juga bakal dikenakan denda sebesar 5% dari besaran THR. Pengenaan denda tersebut tidak menghilangkan kewajiban pengusaha untuk tetap membayar THR.
“Kalau di ketentuan peraturan perundang-undangan, terkait dengan denda pengusaha yang terlambat membayar THR keagamaan kepada pekerja atau buruh dikenakan denda sebesar 5% dari total THR yang harus dibayar sejak berakhirnya batas waktu kewajiban pengusaha untuk membayar,” jelasnya.
Namun menurut Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia bidang Ketenagakerjaan dan Hubungan Industrial, Anton J Supit, kebijakan THR 2021 yang tidak boleh dicicil itu sulit direalisasikan semua pengusaha di lapangan. Hal itu dikarenakan tidak semua perusahaan memiliki kemampuan keuangan yang sama.
“Pasti tidak semulus yang dibayangkan kita sekarang ini. Seakan-akan kalau sudah keluar instruksi harus bayar lantas semua ikuti, kalau memang tidak punya dana mau bayar pakai apa? Gaji aja mungkin dicicil. Orang kalau lagi kesulitan keuangan kalau dipaksa bagaimanapun susah,” kata Anton.
Anton menilai bahwa kebijakan yang memaksa semua perusahaan memberikan THR ini dianggap dapat menjadi konflik yang berkepanjangan, terlebih lagi di masa pandemi COVID-19 seperti saat ini.
“Jadi dengan memaksa begini pasti bakal ada efek bagi perusahaan bisa bermasalah. Peraturan ini kan berlaku untuk semua termasuk UMKM yang kecil-kecil itu jadi harus dipikirkan bagi yang tidak mampu ini. Jadi saya tetap menyarankan bagi yang mampu silakan bayar, yang tidak mampu ya negosiasi,” ucapnya.
Anton mengingatkan pemerintah agar jangan mengaitkan THR untuk menggenjot daya beli masyarakat. Sebab, efek dari itu dinilai hanya bersifat sesaat dan ke depannya disebut bisa berdampak kepada nasib usaha.
“Apakah pemerintah ingin menjaga ayamnya agar setiap hari bertelur, atau ayamnya mau dipaksa dikeluarkan sekaligus sekarang dengan konsekuensi sebagian dari itu tidak bisa bertelur lagi. Kita harus jaga napas, jangan terlalu business as usual,” tuturnya. ( tim )