Mojokerto | lenterainspiratif.id – Kemelut Bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS) Kota Mojokerto hingga kini masih berlanjut, berdasarkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi II dan Badan Anggaran DPRD Kota Mojokerto terkait pertanggungjawaban BPRS Kota Mojokerto kepada para nasabah kini beberapa anggota dewan usulkan Pansus PT BPRS Kota Mojokerto.
Setidaknya terdapat 10 anggota Dewan sebagai pengusul Pansus PT BPRS Kota Mojokerto diantaranya Wakil Ketua DPRD Kota Mojokerto Junaidi Malik, Ketua Komisi III Agus Wahyudi, Jaya Agus Purwanto, Wahju Nur Hidayat, Nuryono Sugi Raharjo, Indro Tjahjono, Moelyadi, Mifta Aris Zuhri, Moch. Harun, dan Agung Sucipto.
Salah satu anggota DPRD Kota Mojokerto tim pengusul pansus Agung Sucipto mengatakan pada prinsipnya bahwa dirinya secara pribadi bersepakat tentang dibentuknya Pansus PT BPRS Kota Mojokerto, ia menilai bahwa pansus tersebut untuk mengungkap adanya dugaan froud yang dilakukan oleh pihak pihak yang tidak bertanggungjawab.
” Pada prinsipnya saya setuju dengan adanya pansus, namun saat ini di komisi II kurang satu orang yang belum menandatangani usulan adanya pansus” jelas agung senin 04/10/2021.
Sebelumnya Ketua Komisi II Rizki Fauzi Pancasilawan menjelaskan bahwa Komisi II DPRD Kota Mojokerto membuka posko pengaduan masyarakat hingga Rapat Dengar Pendapat (RDP) dan Hearing terkait persoalan Perbankan akibat banyaknya informasi terkait persoalan nasabah dari PT.BPRS Kota Mojokerto yang kesulitan menarik uang dari tabungan maupun deposito.
“Memang sesuai keterangan yang kami terima PT.BPRS Kota Mojokerto sedang mengalami kesulitan likuiditas,” ungkapnya saat konferensi pers di ruangan Komisi II DPRD Kota Mojokerto, Jumat (28/5/2021).
Rizki mengatakan sesuai literatur dan referensi yang diterima Komisi II dari hasil audit BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) yang ditunjuk langsung oleh Wali Kota Mojokerto bahwa hasilnya menunjukkan adanya indikasi (Fraud Perbankan) yang terjadi pada internal PT.BPRS Kota Mojokerto.
Sehingga Komisi II DPRD Kota Mojokerto lanjutnya, akhirnya menyepakati membuka posko pengaduan atau pelayanan bagi nasabah-nasabah dan pihak-pihak yang terkait dengan PT.BPRS Kota Mojokerto.
“Tujuan kami membuka posko pengaduan dan pelayanan tersebut untuk menambah informasi dan data maupun mengumpulkan sekaligus menginventarisir semua permasalahan yang ada dengan PT.BPRS Kota Mojokerto,” terangnya.
Lebih lanjut Rizki mengatakan posko aduan itu nantinya akan berpusat di ruangan komisi II. Pihaknya juga berupaya mensosialisasikan posko aduan dengan membuat banner yang akan dipasang di 5 kantor BPRS seperti di Mojosari, Ngoro Jombang dan kantor pusat yang berada di jalan Majapahit.
“Semakin banyak masyarakat yang mengadu semakin baik. Artinya data atau bahan kita untuk mengurai masalah di BPRS semakin banyak,” imbuhnya.
Posko itu lanjut Riski dibuka selama jam kerja, nantinya tiap anggota di Komisi II sepakat berjaga bergantian melayani masyarakat yang hendak mengadu.
“Kekhawatiran kami masih banyak masyarakat diluar sana yang juga kesulitan menarik tabungan atau depositonya. Sehingga sangat diperlukan adanya posko aduan,” tegasnya.
Masyarakat yang sudah berkomunikasi dengan Komisi II terkait uang deposito yang tidak bisa ditarik itu sekitar puluhan orang. Ketika ditanya nominal berapa jumlah uang mereka Rizki enggan membeberkan.
“Ini yang sudah masuk ada puluhan nasabah yang mengeluh. Kemungkinan besar ada nasabah-nasabah lain. Kalau jumlah uang saya kira besar yang nyantol di BPRS. Dari sekian nasabah yang mengeluh itu keluarga saya sendiri,” tuturnya.
Menurutnya posko aduan dibuka untuk mengetahui akar masalah yang ada di BPRS. Ia tidak mau, BPRS yang merupakan perusahan BUMD dan milik pemerintah Kota Mojokerto terjadi hal-hal yang tidak diinginkan sehingga mencoreng nama baik Pemkot Mojokerto.
“Jangan sampai Kota Mojokerto yang kita cintai ini tercoreng namanya karena satu lembaga yang tidak memenuhi kewajiban-kewajiban kepada nasabahnya,” pungkasnya.
Berdasarkan hasil audit BPKP Jatim, banyaknya froud diinternal menjadi salah satu masalah. Selain itu, pada pertengahan tahun 2020 lalu banyak nasabah secara beruntun menarik deposito mereka, hal ini yang membuat likuiditas BPRS terganggu. Banyak sekali pinjaman atau kredit ke nasabah nilainya tinggi bahkan terlalu tinggi mencapai Rp 2 miliar sampai 9 miliar. (Roe)