Opini

Kehilangan Arah Saat Berlayar

×

Kehilangan Arah Saat Berlayar

Sebarkan artikel ini

 

Penulis : Jusna D. Kuatan 

(Mahasiswi Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Unkhair Ternate)

lenterainspiratif.id | Sore itu, berlatarkan senja serta lampu mulai kelap-kelip menambah kecantikan kota Limau Gapi. Kapal Sabuk Nusantara 86 perlahan-lahan melaju meninggalkan kota kecil yang memiliki sejuta kenangan, membawa saya pergi dari kebisingan dan pedihnya luka serta menutup lembaran cerita ini.

Bukan ini akhir yang diharapkan, perpisahan tak pernah terlintas dibenak saya. Pelayaran menuju kampung halaman kali ini saya memilih kapal perintis yang tarif tiketnya sepuluh kali lipat lebih murah dari kapal biasanya. Namun, perjalanan menggunakan jasa angkutan laut memakan waktu 72 jam. “huff 2 hari 2 malam di atas kapal akan pastiu skali, akan tong mandi bagaimana?” tanya saya dalam hati.

Segala pertanyaan mulai menghantui isi kepala. Ini kali pertama menggunakan jasa anggkutan untuk berlayar dan saya bukan tipe manusia yang bisa mandi di atas kapal. “Menyebalkan sekali.”

Kapal berangkat dari pelabuhan Ahmad Yani menuju Pigaraja. terdengar pemberitahuan dari pengeras suara “bagi penumpang yang masih berada di atas dermaga harap naik ke atas kapal karena kapal akan segera diberangkatkan, ABK stand by muka belakang” meniru isi pesan tersebut. Setelah mengetahui kapal akan segera berangkat, ditengah-tengah hati yang kacau saya bergegas menuju dek 3 bersama sepupu, Cici sapaannya. Memandang dari kejauhan dan menikmati pemandangan indah kota yang memberi bahagia sekaligus merampasnya. Kami mengambil tempat diberanda kapal yang berada di belakang kapal.

Tak afdol rasanya jika tidak mengabadikan momen indah tersebut, menggunakan telepon genggam sekedar membuat story di akun aplikasi WhatsApp. Sedang asyik mengambil gambar tiba-tiba terdengar suara menyapa kami. “eh pulang lagi, tugas besar so biking kong?” tanya lelaki berkulit hitam yang bertubuh tidak terlalu tinggi kepada Cici. “saya kaka,” jawab Cici. Saya lalu menengok ke sumber percakapan tadi, kami saling memandang dan melempar senyum pertanda saling menyapa dengan isyarat.

Saya memberikan ruang bagi mereka berbincang. Saya kembali sibuk menjelajahi dunia maya. Karena terlalu sibuk sendiri tak sadar perbincangan mereka telah usai. Cici menghampiriku dan bercerita tentang sosok lelaki tadi. “Sa pung senior, Indah pung angkatan, dia pung nama Fiki,” jelasnya. Ternyata dia satu Kampus, Fakultas serta angkatan 18 dengan adik perempuan saya, tapi beda prodi. Dia prodi tekhnik elektro sedangkan Indah sipil. “oh” cetus saya dan tak tertarik membahas soal dia. Bukan sombong, memang aku tipe orang yang malas tahu tentang seseorang yang tak kenal. Padahal ada pepatah mengatakan “tak kenal maka tak sayang”. Di situlah awal pertemuan kami.

Lagi, pengumuman kembali terdengar, memberikan informasi sudah tiba waktu berbuka puasa, kami bergegas turun ke dek 2 menuju ranjang, membuka kantong kresek berisikan takjil yang sempat kami beli di Ternate, tak lupa pula menawarkan pada orang yang berada di samping kiri kanan kami. Rupanya mereka juga sudah ada persediaan. “Asyik menyantap takjil yang manis-manis,” seru saya. Tiba-tiba Fiki datang entah dari mana. “Cici lalampa ni,” ucapnya, menawarkan kami olahan beras ketan yang isinya ikan lalu dibungkus dengan daun pisang itu. “kakak mau?” tanya Cici. “tarada,” singkat saya. Cici mengapai lalampa yang diletakkan di dalam tas kresek.

Saya memandangnya yang kebetulan ranjangnya berseberangan dengan ranjang kami, sibuk membongkar tas, sepertinya mencari sesuatu. Tak lama dia mengeluarkan sajadah dari tasnya “Subhanallah,” batin saya sambil tersenyum kagum. Setelah selesai menyantap takjil dan tenaga sudah kembali, saya mengecek handphone memastikan jaringan seluler masih tertangkap. Ingin mengabari kekasih yang jauh di pulau seberang atau sekedar bercerita sampai tertidur. Namun sayang terlihat dilayar tidak ada signal. Sedikit kesal tapi saya bergegas turun dari ranjang memakai sandal dan menawarkan ajakan pada Cici “iko tra, ke dek 3 cari jaringan?” kata saya. “trada,” singkatnya. Saya lalu berjalan menuju tujuan dengan rasa malas menimpah diri. Terkadang cinta bisa membuat kita melakukan hal-hal yang tidak kita sukai. Tak biasa.

Namun usaha saya nihil, jaringan seluler tak bisa dijangkau karena kapal telah meninggalkan pulau sudah terlalu jauh. Aku berjalan menuju pintu untuk menuruni anakan tangga, sebelum sampai di pintu langkah terhenti melihat sosok lelaki keluar dari musala kapal. Sekali lagi kami berpandangan hanya melempar senyum tanpa kata kemudian berlalu. Sesampainya di ranjang saya melihat Cici asyik berbincang dengan laki-laki yang sebelahan dengannya. Saya tak berniat bergabung atau sekedar mendengar apa yang mereka bahas. Membuka tas ransel mengambil sleeping bag dari pemberian adik saya, karena sebelum berangkat dia memberitahu bahwa kapal perintis yang kami tumpangi, full AC. Saya manusia yang tidak kuat tahan dengan kedinginan.

Saya berbaring sambil mengecek sekali lagi handpone, berharap jaringan dapat dijangkau, ternyata nihil juga. Saya membuka via aplikasi yang sering kami gunakan untuk mengadu rinduh, melihat percakapan dengan kekasih sambil tersenyum. Ah, rindu mulai marasuki kalbu. Lalu menutup aplikasi tersebut dan memutar music, tak lupa memakai headset untuk menikmati setiap lagu yang berlalu dan saya terlelap menjelajahi dunia mimpi.

Pukul 02.02 dini hari terlihat dilayar ponsel. Cici yang terlelap disebelahku, dari balik jendela terlihat jelas lautan yang bermandikan cahaya bulan purnama. Saya bergegas naik ke dek 3 untuk menikmati pancaran sinar sang rembulan dan bintang yang memeluk angkasa dengan cahayanya menambah keindahan malam itu apalagi menikmatinya di atas kapal. Angin malam yang dingin menyapa kulit, aku melihat sekeliling. Fiki memandangku dapat terlihat jelas, ia duduk dengan seorang teman. Saya duduk tak jauh dari mereka dan memandang setiap pulau yang berlalu.

Asyik menikmati indahnya malam, tubuh ini tak mau kompromi lagi seketika saya menggigil kedinginan karena hanya menggunakan kaos lengan panjang tipis. Saya cepat-cepat menuruni anak tangga menuju ranjang pikiranku tertuju pada sleeping bag untuk menghangatkan tubuh. Saya bangunkan Cici agar sekedar menghangatkan tubuh, Cici yang mengetahui saya tak tahan bisa drop ketika kedinginan cepat-cepat memeluk saya dengan erat. merasa sedikit hangat. Hal tersebut membuat fiki penasaran yang kebetulan lewat di depan ranjang kami “ngana p kaka bikiapa?” tanya fiki pada Cici. “dia kedinginan,” jawab Cici. “ngana p kaka sake?” lanjutnya lagi. “tarada, dingin saja,” balas Cici.

Fiki lalu melangkah menuju ranjangnya. Di tengah kedinginan, terasa membawa ke alam mimpi,saya terlelap dalam tidur. Sayup-sayup terdengar suara Cici dengan lembut membangunkan saya untuk sahur. “kaka bangun sahur,” kata Cici. Perlahan membuka mata, rupanya Cici sudah menyiapkan makanan untuk sahur. Saya bangun dari pembaringan dengan tubuh yang terasa kaku, menyantap pop mie yang tersedia, sedangkan nasi bungkus untuk bekal saya sisihkan untuk Cici.

Sengaja dibelikan pop mie katanya agar tubuhku terasa hangat. Setelah selesai sahur saya meneguk sebotol air mineral kemudian membaca doa sahur. Saya kembali berbaring sementara Cici masih menyantap nasi bungkus yang berlaukkan ayam goreng sambil bercerita dengan lelaki disebelahnya.

Sekali lagi saya mengambil handpone berharap ada jaringan seluler untuk menyapa kekasih, membangunkannya sahur. sekali lagi, dilayar hanya tertulis “tidak ada jaringan”. Saya membuang nafas panjang. Di pembaringan saya melihat Fiki mengambil perlengkapan sholat. Entah mengapa memandangnya membuat saya damai padahal bercakap pun tak sama sekali. Saya segera mengalihkan pandangan takut Fiki mengetahui sedang saya memperhatikan gerak geriknya. Fiki, seorang lelaki yang teguh dalam iman “sosok lelaki idaman,” batin saya lagi. Ah, sudahlah saya hanya mengaguminya.

Saya kembali menjelajahi dunia mimpi. Tepat pukul 06.05 pagi terdengar pengumuman yang menyampaikan bahwa “kapal telah sampai di pelabuhan Pigaraja, penumpang tujuan Pigaraja mengambil barang bawaan dan turun dari kapal.” Kapal berlabuh selama 1 jam, kemudian menuju pelabuhan Madopolo lanjut di Laiwui pada pukul 05.00 petang.

Kapal berlabuh selama 2 jam di pelabuhan Laiwui, kesempatan untuk turun dari kapal membeli takhjil. Seorang teman di kapal menawarkan tumpangan untuk membeli takhjil di pasar yang jarak dari pelabuhan ke pasar memakan waktu 10 menitan bila menggunakan sepeda motor. Aldo namanya, ia turun dari kapal dan meminta saya menunggu sekejap sembari ia mengambil motor di rumahnya. 3 menit menunggu, Aldo sampai. Saya memberitahu kepada Cici untuk menunggu di atas kapal saja. Aldo yang sangat ramah membonceng saya, dalam perjalanan saya menikmati keindahan desa Laiwui. Sepanjang jalan kami berbincang soal kuliah. Tak terasa 10 menit berlalu dan kami sampai di pasar, saya membeli sebungkus es buah, lalampa dan pesanan cici kue sus. Aldo langsung membayar belanjaan saya.

Selesai transaksi, kami memutar balik haluan ke pelabuhan. Aldo yang baik hati mengantarkan kembali sambil membawa barang belanjaan saya sampai ke atas kapal. Setelah memastikan saya sudah berada ditempat semula, Aldo pamit untuk pulang. Tersentuh dengan sikap manis Aldo kepada saya, tak lupa saya mengucapkan terima kasih atas kebaikkannya. “sampai ketemu dipelayaran selanjutnya deng terima kasih,” ucap saya sambil tersenyum padanya. “iya sama-sama,” pintahnya. Saya memandangi punggung lelaki itu sampai menghilang. Bukan Cici namanya jika tidak usil “cie-cie,” goda cici pada saya.

Tak ambil pusing dengan usilan Cici sambil mendorong manja tubuhnya. Sedang asyik mengobrol dengan Cici, handpone yang berada dalam kantung celana berdering, tanpa ada yang menelpon dengan senang hati aku mengangkatnya “hallo,” ucapku. “so sampe mana,” tanya seorang di seberang sana. ya kekasih. “sampe laiwui,” jawabk saya. Kami larut dalam perbincangan sambil melepas rindu lewat udara sampai aku tak menyadari jika kapal telah meninggalkan pelabuhan Laiwui menuju pelabuhan Sanana.

“iyo dah e, sampe Sanana kase kabar,” akhir percakapan kami. Cici mengajak saya mandi, dengan ragu menerima ajakannya. Ini pertama kali saya mandi di atas kapal. Kami menuju dek 2 ke kamar mandi khusus perempuan. Lega rasanya kamar mandi dipisahkan dengan laki-laki. Segar…selepas mandi. Saya menggunakan piyama khusus tidur. Sampai di ranjang pengumuman terdengar memberitahukan waktunya berbuka puasa. Saya dan Cici berbuka puasa dengan khidmat. Dari seberang ranjang terdengar suara Fiki menawarkan kami takhjil, Cici yang tak pernah menolak pemberian Fiki mendekatinya dan mengambil beberapa potong kue. Aku hanya melempar senyum padanya, ia menunduk tersipu malu.

Selesai berbuka, Saya mengambil ponsel, menelpon kekasih. Bermanja lewat suara, sungguh rasa rindu merasuki kalbu. Ia yang sangat paham tentang saya, mencoba membujuk agar bisa kuat dengan LDR kali ini. 2 jam berlalu, ia mengakhiri percakapan karena ada urusan. Saya melihat Cici sedang tertawa riah bersama 4 orang lainnya, mereka sedang hanyut dalam permainan kartu domino, seru kelihatannya. Nampak Fiki sedang berbaring dengan masih menggunakan sarung, pertanda ia baru selesai sholat. Kali ini saya bergabung dengan Cici dan kawan-kawan, ya ternyata permainan mereka sangat seru. Tak sadar saya juga ikut tertawa lepas melihat ganjaran bagi yang tidak beruntung dalam permainan. Fiki memandang saya membuat tawa tergantikan dengan senyum, ia berhasil membuat tersipu malu kali ini.

Ia pun memutuskan bergabung bersama kami dan mengambil tempat disebelah saya. Saya dan Fiki menjadi penonton sementara Cici, Ida, Iki dan Man yang memainkan permainan domino itu. Saya menatap layar ponsel, waktu menujukkan pukul 10 malam “pantasan so manganto,” dalam hati. Saya bergegas menuju ranjang dan mengambil posisi untuk tidur. Membiarkan Cici yang masih menikmati jalannya permainan. Mendengarkan lagu dengan memakai headset dan menyetel lagunya Lyodra, menarik alam sadar pada mimpi.

Singkat cerita kapal sampai di pelabuhan Sanana pukul 07.08 pagi. Penumpang yang bertujuan Sanana bergegas turun dari kapal. Fiki salah satunya. Fiki tak lupa berpamitan pada kami “kita duluan e,” pamit Fiki. “saya,” jawab saya dan Cici. Kami melanjutkan perjalanan menuju pelabuhan selanjutnya Dofa. 3 bulan setelah perpisahan dengan Fiki di pelabuhan Sanana, sebuah notifikasi di Facebook memberitahukan permintaan pertemanan. Saya membuka foto profil yang memiliki nama akun Fiki A, rupanya Fiki yang bersama kami di atas kapal. Saya senyum melihat meminta pertemanan. Dan lalu mengkonfirmasi permintaan pertemanannya.

Kami melanjutkan berkomunikasi melalui chat. Saya tak tau bermula di mana, kami telah menjadi sepasang kekasih.

Bersambung…

 

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *