HukumJawa TimurKriminal

Kasus Korupsi Empat Kades di Bojonegoro Mulai Disidang, 3 OPD Diperiksa Sebagai Saksi

Korupsi, Kades Korupsi
Empat kades di Bojonegoro mengikuti persidangan (foto: Dwi Yuliyanto)

Surabaya, LenteraInspiratif – Kasus korupsi bantuan keuangan khusus desa (BKKD) tahun 2021 yang mejerat empat kepala desa (kades) di Kecamatan Padangan, Bojonegoro mulai disidang, Senin (26/8/2024). Kejari Kabupaten Mojokerto memanggil tiga Organisasi Kepala Daerah (OPD) untuk dimintai keterangan sebagai saksi.

Kasus korupsi BKKD tahun 2021 ini telah menjerat empat kades di Kecamatan Padangan. Mereka diantaranya Kades Tebon, Wasito; Kades Dengok, Supriyanto; Kades Purworejo, Sakri; dan Kades Kuncen, Mohammad Syaifudin.

Adapun tiga OPD Pemkab Bojonegoro yang dihadirkan diantara, Kapala Bappeda Muhammad Anwar Murtadho, Kepala DPUPR Retno Wulandari dan Kepala BPKAD Luluk Alifah.

Dalam sidang tersebut, Kepala Bappeda Kabupaten Bojonegoro, Muhammad Anwar Murtadho dimintai keterangan seputar perencanaan BK Desa.

Ia menjelaskan, proses perencanaan itu dimulai dari pengajuan proposal dari desa yang ditujukan kepada Bupati Bojonegoro. Kemudian Bupati mendisposisikan ke Bappeda selanjutnya Bappeda meneruskan proposal pengajuan BK Desa itu ke OPD terkait.

“Kalau desa yang mengajukan proposal bantuan BK Desa banyak, diantaranya keempat desa itu (terjerat korupsi),” katanya.

Anwar menuturkan, pada saat itu empat desa yang kini terjerat kasus korupsi, mengajukan BK Desa untuk pembangunan jalan. Dana BK Desa itu dimasukkan dalam P-APBD Pemkab Mojokerto tahun 2021.

Adapun rincian yang diperoleh masing-masing desa diantaranya, Desa Tebon sebanyak Rp 1.9 miliar, Desa Demek Rp 1.7 miliar, Desa Purworejo Rp 2.5 miliar dan Desa Kuncen sebesar Rp 1.1 miliar.

“Anggaran itu juga sudah disetujui DPRD dan ditetapkan sebagai Perda,” tukasnya.

Sementara itu, Kepala DPUPR Kabupaten Bojonegoro Retno Wulandari menyampaikan, dari proposal yang didapat dari Bappeda, pihaknya kemudian melakukan verifikasi.

“Verifikasi ini kita lakukan bersama bidang terkait, dalam kasus di empat desa ini bidang yang terlibat bina marga,” ucapnya.

Verifikasi yang dilakukan DPUPR mulai dari pengukuran luas hingga peninjauan kondisi wilayah. Hasil dari verifikasi itu kemudian disampaikan ke Bupati melalui nota dinas. Kemudian Bupati menetapkan BK Desa itu dalam bentuk SK.

“Saat verifikasi ini tidak selalu sama dengan usulan. Ada yang mengusulkan aspal, tapi saat kita tinjau wilayahnya dekat dengan air sehingga perlu dibeton,” tukasnya.

Sementara itu, penasihat hukum terdakwa, Fajar Yulianto menyampaikan jika dalam sidang tadi, dirinya sempat mempertanyakan fungsi monitoring dan evaluasi (monev) yang dilakukan DPUPR.

“Kalau pandangan kami monitoring dan evaluasi yang dilakukan sangat lemah, seharusnya substansi, turun ke lapangan dan sebagainya, disitu sangat lemah,” katanya.

Menurut Fajar, tidak optimalnya PUPR dalam melakukan monitoring dan evaluasi, menjadi awal korupsi BKK Desa ini terjadi.

“Tidak optimalnya Monitoring dan evaluasi dari DPUR berakibat Para Kades menjadi Korban. Karena mulai proses sosialisasi juga terkesan asal-asalan dan tidak dipahami oleh Para Kades,” pungkasnya.

Exit mobile version