Opini

Di Negara Ini, Petani Menjadi Seorang Raja

×

Di Negara Ini, Petani Menjadi Seorang Raja

Sebarkan artikel ini

foto : ilustrasi

Opini, Lentera Inspiratif.com
Di negara kita, sebutkkan satu produk saja, dan yang pasti produk yang anda sebutkan itu adalah milik perusahaan raksasa atau konglemerat. Namun, raksasa dalam arti multi usaha, kapitalis menguasai hulu sampai hilir, dan bahkan multi nasional dengan omset luar biasa besarnya.

Di Denmark, tak ada tempat untuk konglemerat di sektor pertanian, peternakan, perikanan dan usaha usaha yang berhubungan dengan hajat hidup orang banyak. Tapi, konglomerat hanya kebagian salam “gigit jari” dan bertekuk lutut di depan petani. Dan 90 persen pangsa pasar produk pertanian, peternakan dan perikanan serta kaitannya, dikuasai oleh koperasi. Serta, sebagian sisanya dikuasai oleh usaha kecil menengah (UKM).

Koperasi milik petani mengusai semua usaha hulu sampai hilir sektor pertanian, peternakan dan perikanan. Misalnya, seorang peternak susu dengan bangga bercerita, bahwa bukan hanya semua produk susunya ditampung oleh koperasi, tapi masalah kesehatan ternak pun diurus oleh koperasi.

Serta, pasar swalayan terbesar dan memiliki ribuan cabang di Denmark, seperti, SuperBrugsen (termasuk anak anak usahanya) adalah kepunyaan konsumen, dan anggotanya terutama petani, serta tempat di mana petani memasarkan hasil usahanya.

Dan juga Bank terbesar di Denmark, Danske bank melayani keperluan petani di saat ekonomi booming maupun krisis (Petrick, M., and M. Kloss. 2013. “Exposure of EU Farmers to the Financial Crisis”).

Sejak dari awal pendiriannya, Danske Bank fokus pada sektor pertanian. Institusi keuangan Denmark paling peduli dengan nasib petani, ranking 1 di Eropa. Urutan negara yang instutusi keuangannya paling mau melayani sektor pertanian di Eropa adalah 1. Denmark, 2. Perancis, 3. Jerman, 4.Yunani, 5. Irlandia.

Pada tahun 1300-an, pandemic yang disebut “black death” menyebabkan kematian ratusan juta jiwa, lebih dari 60% populasi Eropa punah karena pandemic yang disebabkan oleh sejenis bakteri.

Setelah dianalisa DNA korban, pada tahun 2010, diketahui penyebab pandemic adalah bakteri jenis “Yersinia pestis”. Denmark tak terkecuali, kematian penduduk yang lebih separuh menyebabkan ladang ladang kosong.

Pemerintah kemudian mengeluarkan aturan bahwa tanah tanah yang kosong, tak boleh dimiliki swasta. Ladang ladang tersebut dibagi bagikan ke petani sesuai dengan jumlah anggota keluarga.
Petani seperti dapat durian runtuh, tiba-tiba punya ladang yang sangat luas. Dari sinilah muncul ide “koperasi.” Koperasi kemudian berkembang ke berbagai unit usaha yang mendominasi ekonomi Denmark sampai ratusan tahun. Dan diantara koperasi yang omset penjualannya besar adalah 1. Arla Food (dairy), memiliki penjualan pertahun sebesar DKK 73,6 Milyar (Rp 147,2 Triliun),
2. Danish Crown (daging), penjualan pertahun DKK 58,03 (Rp 116 Triliun)
3. DLG (farm supply), penjualan pertahun DKK 59,1 (Rp 118 Triliun)
4. Kopenhagen Fur Center, penjualan pertahun DKK 13,3 (Rp 26,6 Triliun).

Produksi Pertanian 3 Kali Dari Kebutuhan Banyak negara, termasuk Indonesia belum swasembada pangan (kejadiannya, tak pernah, pernah swasembada, kemudian tidak swasembada lagi), tapi Denmark menghasilkan pangan 3 kali lipat dari kebutuhan penduduknya.

Artinya produksi pangan Denmark melimpah ruah. 30% untuk konsumsi sendiri, sisanya (70%) diekspor ke 100 negara di berbagai penjuru dunia. Ada juga disumbangkan sebagai bantuan luar negeri Denmark (DANIDA) ke negara negara Afrika atau negara yang kekurangan pangan.

Akhirnya, banyak hal yang bisa dipelajari dari Denmark, mulai dari pemberdayaan petani (sehingga lebih kuat dari konglomerat, red) sampai ke usaha pengadaan pangan yang melimpah ruah!
Di Indonesia, bisakah? (dit)

Print Friendly, PDF & Email

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *