DaerahSejarah

Tugu Peluru di Dlanggu, Mojokerto, Simbol Perlawanan Mengusir Penjajah

Lenterainspiratif.id | Mojokerto – Ada banyak monumen di Indonesia termasuk di Mojokerto yang didirikan sebagai simbol sejarah perlawanan bangsa Indonesia melawan penjajahan Belanda, salah satunya monumen peluru di Dlanggu, Mojokerto.

Fakta sejarah mencatat tepat pada tanggal
19 Desember 1948 terjadi agresi militer Belanda 2. Yogyakarta menjadi pusat pertempuran kala itu. Agresi militer itu berlanjut sampai Mojokerto.

Setidaknya terdapat tiga monumen di kecamatan Kutorejo-Dlanggu untuk mengenang agresi milter di Mojokerto itu.

Ketiga monumen itu adalah monumen Macan Putih yang sekarang berubah menjadi monumen Batu di Desa Kutorejo.

Lalu monumen Tjipto di depan Balai Desa Kepuharum, Kecamatan Kutorejo. Dan yang ketiga, adalah Tugu Dlanggu yang berada tepat di simpang tiga Pasar Dlanggu.

Ketiganya merupakan tugu peringatan atas pertempuran Batalyon Bambang Yuwono dan Batalyon Tjipto dikepung oleh tentara Belanda.

Menurut sejarawan asal Mojokerto, Ayuhan Nafiq dalam bukunya “Garis Depan Pertempuran Hizbullah 1945-1950”, tanggal 12 Februari 1949 terjadi pengepungan oleh tentara Belanda yang masuk ke Mojokerto melalui Mojosari.

Pada hari itu, pasukan komando Hayam Wuruk yang terdiri dari Batalyon Mansyur Solikhi (Hizbullah), Batalyon Moenasir (Hizbullah), Batalyon Bambang Yuwono, dan Batalyon Tjipto dikepung oleh tentara Belanda. Para pejuang bertarung untuk bisa lolos dari kepungan Belanda.

Pada pertempuran tersebut Belanda menggunakan taktik “tameng hidup”. Penduduk dipaksa berbaris berjajar dan dipaksa berjalan maju menuju basis pertahanan tentara Republik Indonesia.

Tentara RI akhirnya bimbang menghadapi taktik semacam ini. Tentara RI melihat penduduk yang berjalan dengan senapan tertodong pada dirinya.

Diceritakan di halaman Facebook Catatan Ayuhannafiq, pertempuran tidak imbang terjadi. Konon tank dan arteleri berat memborbardir pasukan RI. Kepungan tentara Belanda juga siap menyerang dari arah Pacet, Mojosari, Pugeran, dan Trawas.

Alhasil, tembak menembak tidak bisa dihindarkan. Pertempuran terjadi mulai pagi hingga malam. Pada saat malam, pasukan RI berhasil lolos dan bergerak ke Dinoyo.

Korban pada saat pertempuran itu terbilang sangat besar. Dari kesaksian Almagfurlah Abah Yat, ratusan mayat tergeletak di jalanan. Korban dari tentara juga tidak kecil. Dua batalyon tentara RI, Batalyon Moenasir Mansyur dan Batalyon Sholikhi porak poranda.

Kapten Majid Asmara, Kepala Staf Batalyon dan Mat Yatim, komandan kompi gugur dalam pertempuran di sekitar jembatan Ngembeh. Mereka berdua merupakan adalah sebagian dari 500 orang yang pernah menjalani pelatihan Hizbullah di Cibarusa. (Met)

Exit mobile version