Oleh : Hardianto Gaus
Sebelumnya kita pahami apa itu Oligarki, dalam merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), Oligarki adalah pemerintahan yang dijalankan oleh beberapa orang yang berkuasa dari golongan atau kelompok tertentu. Nah dengan kuatnya peran oligarki adalah tanda pemerintahan suatu negara gagal dalam mengelola demokrasi. Ketika demokrasi gagal dikelola, sudah bisa dipastikan yang dirugikan itu adalah rakyat sendiri, karena rakyatlah yang menanggung beban dari semua kegagalan pemerintah dalam mengelola demokrasi yang ada di bangsa ini.
Jika hal itu benar adanya, maka sesungguhnya demokrasi ini telah gagal, minimal di ambang jurang kegagalan. Masalah utama demokrasi yang ada di Indonesia yang utama adalah biaya politiknya yang sangat mahal. Yang itu dapat menyebabkan banyak orang yang berkompeten tidak dapat mengikuti pemilu, baik di tingkat legislatif maupun eksekutif.
Dengan begitu menurut Aristoteles, dalam pandangan oligarki adalah bentuk pemerintahan yang dipegang oleh sekelompok orang demi kepentingan kelompoknya. Hal ini tentu menjadi permasalahan bersama dari waktu ke waktu setiap kali pemilu serentak yang dijalankan. Pada akhirnya rakyat hanya dijadikan alat untuk mengejar kepentingan oligarki semata dengan politik yang ada di bangsa ini.
Padahal semestinya Demokrasi mampu menjadi system utama pemerintahan yakni dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Dengan konteks ini, demokrasi tanpa rakyat tentu akan lebih kontradiktif yang kita tahu bahwa seharusnya kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat bukan malah terbalik kepada para pejabat ataupun oligarki politik.
Praktik oligarki disinyalir semakin menguasai sistem politik Indonesia. Seperti Pemilihan kepala daerah (Pilkada) sudah menjadi asumsi yang telah berkali-kali terbukti kebenarannya. Hari ini hingga menjalang di Tahun 2024 nanti Pilkada menjadi ladang kontestasi potensial bagi praktik penghamba kalangan elite politik saat ini. Untuk itu dapat dibayangkan bahwa demokrasi di Indonesia akan terus mengalami kemunduran jika tidak adanya peran actor sosial sebagai penyeimbang negara.
Ancaman oligarki dalam Pilkada 2024 nanti, tentunya membuat pasangan pemimpin daerah yang terpilih akan menjadi tangan kanan kelompok elite politik untuk mengambil sebuah keuntungan. Hal tersebut akan mencederai Hak Asasi Manusia (HAM) warga negara dan berdampak pada terabaikannya hak-hak dasar yang semestinya diperoleh oleh masyarakat. Sebagai contoh, buruknya pelayanan kesehatan, tidak meratanya akses pendidikan, banyaknya konflik pertanahan yang itu merupakan cermin pelayanan publik yang sangat suram.
Saat ini kaum elite politik berlomba-lomba mengucurkan dananya untuk mendanai pasangan potensial yang memiliki kesempatan besar untuk memimpin sebuah daerah. Tujuannya tak lain adalah untuk memperkuat serta menyelamatkan posisi politik mereka untuk menambah pundi-pundi kekayaan mereka. Belum lagi kondisi demokrasi di Indonesia sendiri yang tak cukup lama menghadapi tantangan kondisi pandemi yang berdampak hingga saat ini. Di sisi lain, jika proses politik tersebut didominasi kaum elite yang ingin mempertahankan kekayaannya dengan kekuasaan, yang terjadi adalah timbulnya pelanggaran HAM.
Kondisi tersebut akan menjadi satu keprihatinan kita bersama. HAM akan sangat terancam apabila praktik oligarki semakin berkembang. Proses politik di masa depan terlebih pilkada serentak 2024 ini tidak boleh mengesampingkan prinsip dan nilai hak asasi manusia, hak hidup, hak ekonomi untuk kesejahteraan. Kepala daerah yang seharusnya menjadi ujung tombak pemenuhan HAM harus mampu melindungi hak asasi rakyatnya. Sehingga penting bagi pemilih untuk benar-benar menggunakan hak pilihnya secara tepat. Hasil proses politik tersebut akan berdampak sangat besar bagi masyarakat, khususnya dalam pemenuhan hak asasi manusia.
Jika secara teori kebijakan publik itu dibentuk untuk menciptakan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya, prakteknya hanya menumpukkan kesejahteraan pada mereka di lingkaran kekuasaan dan modal. Pada akhirnya, mungkin dapat dipahami,kuatnya pengaruh politik oligarki di Indonesia adalah konsekuensi dari terjadinya politik berbiaya tinggi, yang mana para politisi yang ingin berlaga di Pemilu membutuhkan sokongan dana yang besar dari para oligarki itu sendiri. Kemudian, kemampuan para oligarki yang dapat mempengaruhi jalannya sistem politik ini berakar dari kapabilitas uang yang dapat menjadi alat tukar nilai-nilai personal.