Lenterainspiratif.id | Mojokerto – Putusan Mahkamah Agung (MA) atas sengketa lahan di Dusun Gedang Desa Modopuro Kecamatan Mojosari, Kabupaten Mojokerto dinilai janggal. Pasalnya, putusan yang memenangkan Wuliyono atas tanah bangunan seluas 902 meter persegi tersebut berdasarkan alat bukti Leter C. Padahal tanah tersebut sudat terbit sertifikat atas nama Ngadi sejak tahun 2004 lalu.
Janggalnya putusan itu lantaran dalam Leter C tidak tercantum luas tanah, sehingga pemilik sertifikat mempertanyakan putusan MA tersebut. Selain itu, Sumai yang merupakan ahli waris menduga ada permainan mafia peradilan di Pengadilan Negeri (PN) Mojokerto.
“Saat sidang, saksi yang dihadirkan oleh tergugat bukan orang yang mengetahui kronologi dan tidak ada hubungan dengan riwayat tanah itu. Tapi anehnya oleh hakim pernyataan saksi-saksi itu diterima,” kata Sumai, Kamis (24/6/2021).
Tak hanya itu menurut Sumai kejanggalan lainya, saat persidangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang merupakan institusi penerbit sertifikat tidak hadir. Bahkan, oleh hakim, BPN tidak pernah dipanggil untuk menjadi saksi.
“Ada dugaan permainan mafia tanah. Kita mencari keadilan. Semua orang desa sudah tahu kalau itu bukan tanah mereka. Aparatur desa sudah tahu kronologinya tapi anehnya diam saja,” tuturnya.
Lebih lanjut Sumai mengatakan kasus sengketa ini sejak 2016 lalu. Berbagai upaya sudah dilakukan termasuk sampai tingkat banding hingga kasasi, namun pengadilan tetap memutuskan berpedoman pada Letter C yang menjadi alat bukti Wuliyono dan kawan-kawan. Bahkan, ditinggkat kasasi ternyata keputusan dikembalikan kepada Pengadilan Negeri Mojokerto alias kasasi ditolak.
“Ini jelas keputusan awal di PN Mojokerto menjadi kunci kekeliruan atas putusan-pusan diatasnya. Termasuk putusan MA. Bagaimana bisa pemilik sah sertifikat tanah kalah di pengadilan terhadap pemilik bukti hanya berupa letter C. Kalau seperti itu berarti Letter C lebih kuat secara hukum dari pada sertifikat tanah,” jelasnya.
Ia pun berharap kepada Presiden RI, Joko Widodo agar memberi bantuan atas ketidakadilan yang dialaminya.
“Padahal pak presiden pernah bilang sertifikat tanah itu bukti yang kuat. Tapi faktanya ternyata ketika digugat kalah dengan bukti Letter C,” tuturnya.
Kedepan Sumai mewanti-wanti kepada semua pemilik sertifikat tanah agar hati-hati pada praktek mafia tanah. Faktanya, meski memiliki sertifikat masih bisa berpindah kepemilikan seperti yang dia alami.
Sementara itu Panitera Muda Pengadilan Negeri Mojokerto, Syakur mengatakan jika tidak terima dengan keputusan eksekusi lahan masih bisa melakukan proses-proses hukum berikutnya.
“Kalau merasa tidak terima silakan lakukan proses hukum selanjutnya,” tuturnya singkat saat memimpin eksekusi lahan.
Dari pantuan di lapangan, proses eksekusi yang dilakukan oleh PN Mojokerto mendapat pengawalan ketat kepolisian. Sempat ada adu argumen antara Sumia dan juru sita. ( Roe )