EkonomiJawa Timur

Mengapa PBB-P2 Naik Drastis di Banyak Daerah? Ini Penjelasan Lengkapnya

×

Mengapa PBB-P2 Naik Drastis di Banyak Daerah? Ini Penjelasan Lengkapnya

Sebarkan artikel ini
Gambar ilustarsi pajak PBB naik

Jakarta, Lenterainspiratif.id – Dalam beberapa bulan terakhir, wacana kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan Perdesaan (PBB-P2) menjadi topik panas di berbagai daerah. Kenaikan tarif yang di sebagian wilayah mencapai ratusan hingga ribuan persen membuat masyarakat terkejut dan memicu gelombang protes.

Kasus di Pati, Jawa Tengah menjadi sorotan setelah pemerintah kabupaten berencana menaikkan tarif PBB-P2 hingga 250 persen. Meskipun akhirnya dibatalkan usai teguran langsung dari Presiden Prabowo Subianto, aksi unjuk rasa tetap digelar, menuntut Bupati Sudewo mundur.

Situasi serupa terjadi di Jombang, Jawa Timur. Seorang warga, Heri Dwi Cahyono (61), mengaku PBB tanahnya pada 2024 melonjak 1.202 persen dibandingkan 2023. Bupati Warsubi mengklarifikasi, kenaikan ini merupakan implementasi Peraturan Daerah Nomor 13 Tahun 2023 berdasarkan rekomendasi pemerintah pusat melalui Kemendagri dan Kemenkeu .

Alasan Utama Kenaikan PBB-P2

Menurut Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef M. Rizal Taufikurahman , kebijakan ini bukan sekadar keputusan spontan pemerintah daerah. Ada tekanan fiskal yang kuat di baliknya.

“PBB-P2 menjadi instrumen paling cepat dioptimalkan untuk menambah Pendapatan Asli Daerah (PAD), karena sepenuhnya berada di kewenangan pemda melalui penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP),” jelas Rizal.

Menurutnya, situasi diperparah oleh perlambatan transfer dana dari pemerintah pusat, menurunnya dana bagi hasil sumber daya alam, serta stagnasi penerimaan retribusi daerah. Kondisi ini membuat banyak pemerintah daerah memilih “jalur instan” dengan menaikkan tarif atau memperluas basis PBB-P2 dibanding membangun sumber penerimaan baru yang membutuhkan waktu.

 

Risiko Tax Shock dan Dampak Sosial

Meski efektif untuk jangka pendek, kenaikan PBB-P2 secara drastis berisiko memicu tax shock atau kejutan pajak. Rizal menyebut dampaknya bisa menggerus daya beli masyarakat, terutama kelompok rentan dan kelas menengah bawah.

“Resistensi publik bisa muncul dalam bentuk menunggak pembayaran, protes sosial, atau gugatan hukum terhadap penetapan NJOP,” tegasnya.

Selain itu, iklim investasi properti dan sektor konstruksi bisa ikut terganggu. Jika warga merasa pajak naik tanpa perbaikan layanan publik, kepercayaan terhadap pemerintah daerah bisa merosot.

 

“Yang akhirnya menurunkan kepatuhan pajak di masa depan,” tuturnya

Alternatif Selain Naikkan PBB-P2

Rizal menyarankan pemerintah daerah mencari sumber penerimaan lain yang lebih berkelanjutan, seperti, memperluas basis pajak melalui pembaruan data objek pajak secara digital, menutup kebocoran penerimaan dan memastikan semua wajib pajak terdaftar, mengoptimalkan BUMD di sektor air bersih, energi, dan pariwisata lokal, serta memanfaatkan aset daerah yang menganggur melalui kerja sama pemanfaatan atau skema KPBU.

“Strategi ini memang membutuhkan waktu, investasi SDM, dan tata kelola yang baik. Namun, hasilnya lebih stabil dan tidak menimbulkan beban mendadak bagi warga,” pungkas Rizal.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner BlogPartner Backlink.co.id