Opini

Bung karno akui sebagai marxis

×

Bung karno akui sebagai marxis

Sebarkan artikel ini

Rudi Hartonopengurus Komite Pimpinan Pusat Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Kekuasaan Bung Karno diujung tanduk. Kudeta merangkak yang dirancang Soeharto dan CIA memang menyasar Bung Karno. Maklum, di bawah kekuasaan Bung Karno, haluan ekonomi-politik Indonesia sangat anti-kolonialisme dan anti-imperialisme.
Soeharto dan kelompoknya berusaha menyeret Bung Karno ke dalam peristiwa G/30/S. Untuk itu, disusunlah propaganda mendiskreditkan Bung Karno. Poster dan famplet, yang didalamnya menyebut Soekarno seorang marxis, disebar dan ditempel dimana-mana.
Bung Karno tidak gentar. Tanggal 28 Februari 1966, di hadapan peserta Sapta Warsa Gerakan Siswa Nasional Indonesia (GSNI), Bung Karno terang-terangan mengakui dirinya seorang marxis. “Aku tegaskan dengan tanpa tedeng aling-aling, ya, aku marxis,” kata Bung Karno.
Itu bukan pertama kalinya Bung Karno menyebut diri marxis. Tanggal 6 September 1966, ketika menerima delegasi Angkatan 45 di Istana Negara, Bung Karno juga menyatakan dirinya seorang marxis. Bahkan, menurut pengakuannya, sejak tahun 1928, Ia sudah menjadi marxis, sekaligus nasionalis dan agamais. “Marxisme adalah isi dada saya,” ujar Bung Karno.
Bahkan, di pertemuan dengan Angkatan 45 itu, Bung Karno sempat mengungkapkan kemarahannya kepada MPRS yang berkeinginan melarang ajaran marxisme. “Kalau engkau (MPRS) mengambil keputusan melarang Marxisme, Leninisme, Komunisme, saya akan ketawa,” tegasnya.
Bagi Bung Karno, sebuah ideologi atau ajaran tidak boleh dilarang. Yang harus dilarang, katanya, adalah kegiatan marxisme atau komunisme yang merugikan negara. Ia sadar, sebuah ajaran atau pemikiran tidak terlepas dari sociaal economische verhoudingen (relasi sosial ekonomi). Ia mencontohkan, marxisme tidak akan pernah bisa dihilangkan jikalau sociaal economische verhoudingen masih sangat buruk. Sebab, marxisme adalah senjatanya kaum tertindas untuk membebaskan diri dari segala bentuk penghisapan.
Marxisme sendiri sangat mempengaruhi Bung Karno. Dalam artikel berjudul “Menjadi Pembantu PemandanganSoekarno, oleh…Soekarno sendiri”, yang dimuat di Pemandangan, 1941, Bung Karno menganggap marxisme sebagai teori yang paling kompeten untuk memecahkan soal sejarah, politik, dan sosial-kemasyarakatan.
Bung Karno juga mengakui, berkat kontribusi marxisme, ajaran nasionalismenya tidak tergelincir ke chauvinisme dan fasisme. Memang, di banyak negara, terutama di Eropa, ajaran nasionalisme cenderung menjadi chauvinis dan fasistik.
Di tahun 1920, era ketika Bung Karno mulai tampil di pentas pergerakan, pengaruh marxisme sangat kuat. Hampir semua tokoh pergerakan saat itu, termasuk Tjokroaminoto, sangat terpengaruh marxisme. Banyak Haji-Haji  dan pemuka agama juga menjadi marxis, seperti Haji Misbach, Haji Datuk Batuah, KH Tubagus Achmad Chatib, Natar Zainuddin, dan lain-lain.
Soekarno mengaku belajar marxisme sejak usia 16 tahun. Di Surabaya, saat mondok di rumah HOS Tjokroaminoto, Soekarno menyelami marxisme. Awalnya, ia mempelajari marxisme dari para penafsir marxisme. Setelah itu, ia mulai membaca karya-karya Marx dan Engels. “Pada waktu muda-mudi yang lain menemukan kasihnya satu sama lain, aku mendekam dengan Das Capital. Aku menyelam lebih dalam dan lebih dalam lagi,” kenang Bung Karno dalam otobiografinya yang ditulis Cindy Adams, Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Rumah Tjokro sendiri sering berfungsi sebagai tempat mangkalnya aktivis pergerakan. Tokoh-tokoh komunis, seperti Semaun, Sneevliet, Alimin, dan Musso, serang datang ke rumah Tjokro. Di situlah Bung Karno muda mengenal tokoh-tokoh marxis tersebut. “Bahanku juga dari marxisme, yang aku dapat dari Semaun, yang aku dapat dari pemimpin-pemimpin Belanda seperti Hartogh dan Sneevliet,” kata Bung Karno seperti dikutip Budi Setiyono dan Bonnie Triyana dalam buku kumpulan pidato, Revolusi Belum Selesai.
Dengan menjadikan marxisme sebagai alat analisanya, Bung Karno berusaha menganalisa situasi dan perkembangan masyarakat Indonesia. Hasilnya jelas: Marhaenisme. Dan ajaran Marhaenisme ini, seperti sering ditegaskan Bung Karno, adalah Marxisme yang diselenggarakan, dicocokkan, dilaksanakan di Indonesia.
Marxisme juga mempengaruhi ajaran Bung Karno yang lain, terutama Sosio-Nasionalisme dan Sosio-Demokrasi. Bahkan, kalau mau jujur, Pancasila sendiri sangat kental dengan pengaruh marxisme. Nama Lenin, pemimpin komunis Uni Soviet, juga beberapa kali disebut dalam Pidato 1 Juni 1945—lahirnya Pancasila.
Para pendiri bangsa, seperti Bung Hatta dan Sjahrir, juga sangat dipengaruhi Marxisme. Penyusunan konstitusi kita, UUD 1945, banyak disumbangkan oleh tokoh-tokoh bangsa beraliran marxis. Sampai-sampai mantan Presiden RI, Abdurrahman Wahid alias Gus Dur, menyebut UUD 1945 sangat dipengaruhi “Das Capital”.
Bung Karno juga sering murka kepada kaum intelektual, termasuk professor, yang mengabaikan Marxisme. Pada saat pembukaan Upgrading Wartawan PWI di Istana Bogor, 12 Februari 1966, Bung Karno menyindir professor ekonomi yang hanya mengajarkan liberalisme ekonomi kepada mahasiswa Universitas, tetapi mengabaikan marxisme dan ajaran-ajaran Karl Marx.
Marxisme dengan berbagai variannya sangat berkontribusi dalam perjuangan nasional Indonesia. Para pendiri bangsa juga banyak dipengaruhi oleh marxisme. Karena itu, tak bisa disangkal lagi, berdirinya NKRI ini tidak lepas dari kontribusi marxisme.
Ironisnya, dalam pembahasan Rancangan KUHP, DPR masih berusaha keras menempatkan ajaran Marxisme sebagai musuh NKRI, Pancasila, dan UUD 1945. Bahkan, tindakan yang dianggap menyebarkan dan mengembangkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme akan diganjar hukuman penjara 7 tahun.
Saya bisa menyimpulkan: kalau DPR sampai tetap melakukan itu, berarti mereka telah menyangkal dan mengharamkan pemikiran Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir, dan lain-lain. Artinya, mereka telah berusaha mengubur pemikiran yang berkontribusi dalam perjuangan bangsa ini.
Sumber : Berdikari online
Editor : siswanto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *