Mojokerto, LenteraI — Sidang lanjutan kasus kematian pelajar SMK Raden Rahmat Mojosari, Muhammad Alfan (18), kembali digelar di Pengadilan Negeri Mojokerto, Senin (1/12/2025). Persidangan hari ini menghadirkan tiga orang saksi dari warga sekitar, namun ketiganya kompak membantah Berita Acara Pemeriksaan (BAP) yang sebelumnya menyebut mereka mendengar terdakwa mengucapkan kalimat “mana pedangnya”, yang selama ini menjadi salah satu poin penting dalam dakwaan.
Ketiga saksi yang hadir yakni Sukarsih, Rini Cahyani, dan Suryaningsih. Mereka merupakan warga Desa Kedung Mungal yang tinggal berdekatan dengan rumah Khoiril alias Penceng—saksi kunci yang lebih dulu diperiksa.
Dalam keterangannya, saksi Sukarsih (44) menceritakan jika ia melihat dua anak lari dari rumah Khoiril. Saat itu ia sedang bekerja mengupas di teras rumah nya.
“Ada anak-anak lari di rumah tetangga. Pakai baju putih hitam. Yang saya lihat lari berdua saja, satu arah ke arah kali,” ujar Sukarsih.
Ia menambahkan bahwa setelah kedua anak itu berlari, terdakwa Rio dan Khoiril datang menanyakan arah larinya para remaja tersebut.
“Tersangka sama Pak Khoiril tanya ke saya, ‘kemana anak itu larinya.’ Saya jawab ‘ke arah lor’ yaitu arah ke sungai. Terus mereka mencari,” katanya.
Sukarsih menegaskan tidak pernah mendengar Rio mengucapkan kalimat ancaman seperti yang tertulis dalam BAP. Ia juga menyebut tiga hari setelah kejadian barulah terdengar kabar ditemukannya mayat di sungai.
“Tidak mendengar kata ‘mana pedangnya,’” tegasnya.
Keterangan dari Sukarsih ini ternyata tidak sama dengan BAP. Jaksa lantas menegaskan keterangan saksi mana yang harus dipercaya. Sukarsih hanya menegaskan jika dirinya tidak mendengar keta ancaman tersebut.
Sementara itu, Rini Cahyani (39)—kakak terdakwa— menceritakan jika awalnya anaknya berinisal R pernah pulang dalam kondisi babak belur.
“Pernah Rifki pulang sekolah dalam keadaan babak belur, tanggal 2. Saya tanya, jawabnya habis jatuh,” ucap Rini.
Rini yang tidak percaya kemudian terus menanyai R kebenaran luka yang ia terima. Hal itu membuat R ngembek dan pergi ke rumah neneknya.
“Suami saya (Khoiril) telepon terdakwa, suruh jemput R,” ujarnya.
Sepulang dari rumah Nenek, R akhirnya mau diantar berobat. Saat pulang dari bidan setempat, R mengaku jika dirinya habis di hajar kakak kelasnya. Rio yang mendengar, lanjut Rini menceritakan, terlihat gusar.
“Ekspresi Rio saat itu terlihat agak marah. Tapi saya bilang jangan ikut-ikut,” tutur Rini.
Singkat cerita, Rio membawa Syamsul dan Alfan ke rumahnya. Rio kemudian masuk ke kamar Rini dan memberitahu jika anak yang memukuli R ia bawa.
“Saat itu saya tidur lalu dibilangi Rio ‘iki lo seng ngentemi R (ini yang memukul R), terus saya bilang ‘sudah saya bilang jangan ikut-ikut,’ saya kemudian tidur lagi,” bebernya.
Rini menegaskan kembali bahwa ia tidak pernah mendengar ancaman pedang seperti yang disebutkan dalam BAP kepolisian.
“Saat itu saya tidur lagi, tidak mendengar kata-kata itu,” tukasnya.
Saksi ketiga, Suryaningsih (46), juga menyampaikan kesaksian serupa. Ia melihat Rio datang ke rumah Khoiril membawa dua anak berseragam sekolah sebelum keduanya berlari ketakutan.
“Rio membawa dua anak ke rumahnya. Saat itu saya sedang ngasih makan ayam. Mereka pakai seragam sekolah,” ujarnya.
Tak lama kemudian kedua remaja itu lari dengan wajah panik. Ia juga menerangkan bahwa setelah itu Rio dan ayah Rifki menyusul para anak tersebut.
“Terdakwa tanya ke saya: lari ke mana anak itu. Terdakwa dulu yang tanya, baru bapaknya Rifki,” kata Suryaningsih.
Namun, ia menegaskan tidak pernah mendengar ancaman “mana pedangnya”, sebagaimana tertulis dalam BAP.
“Tidak mendengar kata ‘mana pedanya’, saat mengejar Rio dan Khoiril dalam keadaan tangan kosong,” pungkasnya.












