Daerah

Sumpah Pemuda adalah Wujud Perlawanan Bangsa Indonesia pada Penindasan di Dunia

Foto :
Foto : Wakil Direktur Eksekutif DPP Partai Demokrat Irawan Satrio Leksono Caleg DPR RI nomor urut 2 Dapil Jatim VIII (Kota/Kab Madiun, Kab Nganjuk, Kab Jombang, Kota/Kab Mojokerto).

Jakarta: “Sumpah Pemuda yang dicetuskan pada 28 Oktober 1928 harus kita maknai sebagai perlawanan tegas para pemuda se-Nusantara kepada penjajahan dan penindasan di belahan dunia mana pun. Lewat sumpah itu para pemuda se-Nusantara bersatu meski mereka berlainan suku, adat, keyakinan, budaya, bahkan kepulauan. Mereka siap mendirikan negara, menjadi bangsa, dan menggunakan bahasa resmi: Indonesia!”

Pandangan di atas disampaikan secara tegas dan lugas oleh Wakil Direktur Eksekutif DPP Partai Demokrat Irawan Satrio Leksono menyikapi Sumpah Pemuda yang diperingati pada 28 Oktober setiap tahunnya.

“Kita harus menaruh penghormatan setinggi-tingginya bagi para pemuda se-Nusantara yang telah bersumpah untuk mengorbankan jiwa-raga demi berdirinya Negara Indonesia. Ketika mereka bersumpah dengan mengatakan ‘Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia’ tentulah kata-kata dalam kalimat itu sangat dipilih. Mereka paham benar apa risiko dari upaya membentuk Tanah Air Indonesia atau Republik Indonesia. Mereka siap menumpahkan darah untuk Ibu Pertiwi,” Irawan mengatakan kepada wartawan di ruang kerjanya, Kantor Pusat Demokrat, Wisma Proklamasi 41, Pegangsaan, Menteng, Jakarta, Minggu (28/10).

Teks Sumpah Pemuda yang awalnya terbentuk dari peristiwa bersejarah lewat Kongres Pemuda II berbunyi:
“Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, tanah Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu, bangsa Indonesia.
Kami putra dan putri Indonesia menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.”

Kongres Pemuda II merupakan kongres pergerakan  pemuda Indonesia yang digelar di Batavia (Jakarta) pada 27-28 Oktober 1928. Kongres ini diikuti oleh sedikitnya 700an pemuda se-Nusantara.

Irawan memaparkan, pada masa penjajahan seperti itu bukanlah hal gampang menghadirkan 700an pemuda se-Nusantara. Tidak sekadar membutuhkan waktu dan materi tak sedikit, para pemuda juga harus menantang risiko masuk penjara.

Belanda jelas tak ingin ada kata-kata “merdeka” diucapkan dalam kongres itu. Tetapi pernyataan sumpah para pemuda se-Nusantara jelas menegaskan mereka telah menyiapkan diri untuk merdeka sebagai bangsa berdaulat. Mereka memiliki tanah air, bangsa, bahasa resmi, dan bahkan memiliki lagu kebangsaan Indonesia Raya, yang saat itu dimainkan lewat gesekan biola WR Supratman (instrumen tanpa lirik).

“Tetapi ada satu hal terpenting dalam Sumpah Pemuda itu. Para pemuda se-Nusantara menyadari bahwa kita harus bersatu untuk bisa menegakkan berdirinya suatu Nusa-Bangsa yang besar. Nusa-Bangsa yang beradab. Nusa-Bangsa yang memiliki persamaan hak dan kewajiban sebagai warga negara. Para pemuda se-Nusantara menyadari bahwa penjajahan di belahan bumi mana pun harus diakhiri. Mereka juga memahami semua penindasan itu hanya bisa berakhir jika kita bersatu dalam suatu keluarga besar yang kita sebut Indonesia Raya atau Negara Indonesia yang besar,” ujar Irawan yang juga Caleg DPR RI dari Partai Demokrat dengan nomor urut 2 untuk Dapil Jatim VIII (meliputi Kota/Kab Madiun, Kab Nganjuk, Kab Jombang, Kota/Kab Mojokerto).

Irawan mengharapkan, peringatan Sumpah Pemuda yang ke-90 harus menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk kembali melihat jati dirinya. Memahami untuk apa para pendahulu kita memutuskan bersatu mendirikan Indonesia Raya. Menyadari bahwa kita semuanya adalah saudara sebangsa setanah air yang memerdekakan diri agar tak pernah lagi menerima penindasan dari bangsa mana pun.

“Jika kita semua menyadari apa arti Sumpah Pemuda maka kita tidak akan pernah bisa bertengkar dengan sesama saudara sebangsa setanah air. Kita akan melihat perbedaan sebagai kekuatan. Kita rela mengorbankan apa pun yang kita miliki demi kejayaan Nusa Bangsa,” Irawan menerangkan.

Diingatkannya, Suku Jawa yang mayoritas dalam kongres tersebut memutuskan untuk menggunakan bahasa Indonesia (yang berfondasikan bahasa Melayu) sebagai bahasa persatuan atau bahasa resmi.

“Suku Jawa tidak mau mentang-mentang. Meskipun itu akan menyulitkan mereka berkomunikasi tetapi kepentingan Nusa Bangsa jauh lebih utama. Mereka tegas bersumpah menjunjung bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan. Sudah selayaknya kini kita kembali mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan apa pun. Saya kira mengutamakan Nusa Bangsa itu yang harus paling kita ingat dari refleksi atas Sumpah Pemuda kali ini,” Irawan mengakhiri pernyataannya.

Exit mobile version