(Lentera kiri.com) perceraian terjadi dapat di akibatkan banyak hal, apakah akibat dari perselingkuhan, tidak memberi nafkah atau mungkin juga terjadi akibat salah satu pihak terkena kasus pidana. Namun demikian pada masa sekarang ini perceraian terjadi di akibatkan paling banyak dari kasus perselingkuhan. Dalam agama manapun sebenarnya perceraian tidak di perbolehkan, karena banyak tokoh agama yang berpendapat bahwa perceraian akan mempengaruhi psikologi anak atau buah hatinya, dengan melihat orang tuanya yang saling tidak sepaham maka anak secara otomatis di dalam benaknya akan terbangun jiwa ketidaknyamanan sehingga pelarian si anak kebanyakan akan mengarah pada hal hal yang bersifat negative. Namun menurut pasal 19 Peraturan Pemerintah No.9 tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, makan suami isteri dapat mengajukan perceraian dengan alasan – alasan yang dibolehkan di antaranya 1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; 2. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selarna 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang syah atau karena hal lain diluar kemampuannya; 3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; 4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; 5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri; 6. Antar suami dan isteri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga. Dengan dasar tersebut maka setiap perceraian di perbolehkan. Dalam mengajukan gugatan maupun permohonan alasan perceraian perlu diungkapkan dalam uraian mengenai alasan gugatan atau permohonan yang sering disebut sebagai Fundamentum Petendi atau Posita/Positum. (sis)
foto : catatan sangpengadil.blogspot