Daerah

New Normal Harus Penuhi Syarat, Tak Perlu Buru Buru

Foto: ilustrasi

Foto: ilustrasiLenterainspiratif.com | Jakarta – Setelah sekian lama akhirnya pemerintah memutuskam akan menerapkan normal baru ( new normal), membuka kembali aktivitas masyarakat dengan tidak meninggalkan protokol Covid-19. Hal itu bertujuan menggerakkan kembali perekonomian yang sempat terhenti karena kebijakan Pembatasan Sosial Bersakala Besar (PSBB).

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan sudah melakukan peninjauan ke Stasiun MRT Jakarta dan mal di Bekasi terkait persiapan penerapan new normal pada Selasa (26/5/2020) kemarin.

Dikutip dari kompas.com, Menanggapi rencana tersebut, Co-inisiator Lapor Covid19.org, Dr Irma Hidayana mengatakan new normal memang bisa saja diterapkan oleh pemerintah asalkan memang terpenuhi syaratnya. Salah satunya pengendalian kasus baru Covid-19.

Menurutnya kebutuhan akan new normal mengacu pada Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman PSBB. Keputusan untuk melakukan pelonggaran PSBB atau tidak harus berdasarkan kajian epidemiologis dan kajian terhadap aspek politik, ekonomi, sosial, budaya pertahanan, dan keamanan.

Persoalannya, kurva epidemi di Indonesia saat ini masih menunjukkan adanya penambahan kasus Covid-19 per hari. Bahkan, platform Lapor Covid19 masih terus menerima laporan dari masyarakat mengenai kasus-kasus baru hingga kematian pasien dalam pengawasan (PDP) di daerah yang belum melakukan tes PCR.

“Menurut kami yang harus dikedepankan adalah kurva epidemi dan kepentingan kesehatan, sebelum yang lain-lainnya,” kata Irma dalam webinar Data dan Sains dalam Kebijakan Penanganan Covid-19, Rabu (27/5/2020).

Di sisi lain, kurva epidemi yang disampaikan pemerintah setiap harinya dinilai belum bisa menggambarkan kondisi yang sesungguhnya terjadi. Dalam data jumlah korban yang meninggal, pemerintah dinilai hanya menyampaikan berdasarkan pasien yang dinyatakan positif Covid-19.

Padahal, jelas Irma, banyak PDP dan orang dalam pemantauan (ODP) yang meninggal sebelum sempat mendapatkan tes PCR. Berdasarkan data LaporCovid19 hingga 26 Mei 2019 terdapat 4.541 kematian dari PDP dan ODP.

Irma mengatakan, jika mengacu pada arahan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), orang yang meninggal dengan gejala klinis Covid-19 meski belum dites seharusnya dimasukkan ke dalam data meninggal akibat Covid-19.

“Meninggal sebelum di tes PCR, itu harus ditelusuri dulu, sebelum buru-buru membebaskan orang beraktivitas, meskipun aktivitas itu dilakukan dnegan mawas diri seperti menggunakan masker dan sebagainya,” kata dia.

Sementara itu, Advisor Centre for Innovation Policy and Governance (CIPG) Dr Yanuar Nugroho menyatakan, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk melindungi rakyatnya. Dalam konteks penanganan Covid-19, pemerintah harus lebih dulu memastikan kesiapan fasilitas kesehatan di seluruh Indonesia.

“Jadi kalau mengatakan hak setiap warga negara untuk sehat, mau masyarakat yang tinggal di Manokwari, Gunungkidul, dan sebagainya, itu sama (haknya),” kata dia.

Oleh sebab itu, ia menilai penting untuk pemerintah melakukan tes PCR secara masif pada masyarakat. Termasuk juga mempekuat kapasitas kesehatan hingga ke pelosok negeri.

Ini untuk memastikan jikalau Covid-19 sampai masuk ke daerah terpelosok sekalipun, fasilitas kesehatan di sana mampu menanganinya.

“Tidak bisa dengan menduga daerah A tidak ada kasus penularan di sana, lalu kapasitas kesehatan enggak diperkuat. Kalau kita katakan kesehatan itu adalah hak, maka di new normal ini kita harus memastikan sekitar 9.700 Puskesmas di Indonesia punya kapasitas itu (menampung pasien Covid-19),” paparnya.

“Itulah kenapa syarat-syarat untuk bisa new normal perlu dipenuhi. jadi jangan buru-buru new normal,” tambahnya.

Yanuar juga mengatakan, penanganan Covid-19 yang dilakukan pemerintah bukan hanya berimbas di dalam negeri tapi juga pada relasi dengan dunia internasional.

Berdasarkan perbincanganannya dengan tenaga kerja Indonesia (TKI), kata dia, dampak yang kemungkinan terjadi adalah TKI terancam tidak bisa kembali ke negara di mana mereka bekerja sebelumnya.

Menurutnya, hal ini dikarenakan negara-negara tujuan TKI bekerja memiliki kekhawatiran dan ketidakpercayaan dalam penangangan kasus Covid-19 di Indonesia.

“Jadi ini bukan hanya soal Jakarta atau luar Jakarta, seperti Bali atau Riau. Tapi ini termasuk cara kita berelasi dengan dunia internasional,” katanya. ( tim)

Exit mobile version