Jombang, Lentera Inspiratif.com
Puisi karya Sukmawati Soekarno Putri yang dibacakan dalam peragaan busana Anne Avantie, beberapa waktu lalu, kini memancing kontroversi dibanyak kalangan. Puisi yang berjudul Ibu Indonesia, dianggap melecehkan agama bagi kalangan umat islam. Karena didalam puisi tersebut, mengandung unsur Sara. Apalagi, dianggap membandingkan antara syariat islam dengan kebudayaan yang ada. Sehingga, sejumlah pihak telah melaporkan Sukmawati pada pihak Kepolisian, karena dianggap melecehkan umat islam, khususnya.
Namun, menurut KH Kholil Dahlan, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Jombang, Jawa Timur, saat ditemui pada Jum'at (06/04/2018) menuturkan, puisi yang dibuat oleh Sukmawati itu kalau dilihat dari sisi Sara itu ada unsurnya. Tapi, kalau dilihat dari unsur sastra dalam puisi itu berbeda. Makanya, itu bisa dikatakan pidana dan tidak pidana, karena tergantung siapa yang melihatnya.
"Produk keyakinan dan budaya itu berbeda. Karena produk budaya itu lebih sarat pada bumi, perilaku, perasaan, pikiran manusia. Tapi kalau produk keyakinan itu adalah produk dari wahyu, dari dzat yang suci. Makanya tidak bisa dibandingkan antara produk karya sastra yang bersifat Ketuhanan dengan yang bersifat budaya, "tuturnya.
Dijelaskan, ketika membuat produk budaya harus lebih berhati – hati. Sebab, masyarakat itu tidak hanya hidup didunia budaya, tapi masyarakat itu juga hidup didunia keyakinan. Untuk itu, ketika kita hidup didunia keyakinan maka bahasa yang kita gunakan adalah bahasa agama atau keyakinan. Dan jika kita hidup didunia budaya, maka bahasa keyakinan yang digunakan adalah budaya.
"Khusus untuk puisi itu sebetulnya, kalau didengar, disimak, dan dicermati khusus orang – orang budayawan, dilingkungan eksklusif orang – orang sastra tidak ada masalah. Tapi ketika itu mencuat keluar didunia, yang bukan dilingkungan budaya maka akan menimbulkan masalah, dan itu bisa diangkat yang pidana, "jelasnya.
KH. Kholil menambahkan, permintaan maaf yang dilakukan oleh Sukmawati tidak bisa menghapus proses berjalannya hukum. Karena ada pelanggaran yang bisa gugur dengan pengampunan dan ada yang tidak bisa gugur karena pengampunan. Untuk itu, khusus orang – orang yang hidup didunia publik kalau membuat kata – kata harus lebih berhati – hati.
"Untuk itu, bagi yang mendengar, membaca puisi itu agak hati – hati, kepala boleh panas tapi hati tetap dingin. Sehingga, dengan demikian kita bisa membuat sikap yang manjur untuk menyelesaikan masalah. Dan jangan sampai kita bersikap dengan kepala panas, hati panas, itu akan menimbulkan permasalahan baru, "pungkasnya. (dit)







