Daerah

FO MA PETA Gelar Demonstrasi

×

FO MA PETA Gelar Demonstrasi

Sebarkan artikel ini

TERNATE- Aksi Front Masyarakat dan Pemuda Ternate “FO MA PETA” yang tergabung dari beberapa elemen Mahasiswa dan masyarakat di antaranya Pusat Studi Mahasiswa Ternate (PUSMAT) Maluku Utara, HMI Cabang Ternate, Samurai Maluku Utara, Gamhas Maluku Utara, Pemuda Dufa-Dufa Bergerak, dan AURECHA Kota Ternate, Jumat (8/30)

Aksi tersebut dalam rangka menyikapi penolakan kegiatan festival yang dilaksanakan oleh Indonesia Creative Cities Festival (ICCF) di Kota Ternate pada tanggal 2-9 September 2019 nantinya. Aksi tersebut dilakukan dalam beberapa titik yakni depan Pasar Dufa-Dufa dan depan Kantor Camat Ternate Utara, Kota Ternate, Maluku Utara. Selain itu, aksi ini dikawal langsung oleh beberapa Personil Kepolisian Polres Ternate.

Sebagaimana hal ini disampaikan oleh Zulfikar (Olis) Ketua Pusmat Maluku Utara bahwa pada prinsip Pusmat menolak item kegiatan yang di buat oleh ICCF itu. Salah satunya, rangkaian kegiatan ‘Coho Gia Kololi Kie’. Maka Pusmat bersikap menolak tegas kegiatan tersebut.

“Karena dalam pengkajian kami, seluruh hal ihwal yang dikaitkan dengan ‘Kie’ atau ‘gunung’ secara turun temurun sudah melekat dibenak masyarakat Ternate yang dilakukan oleh tokoh-tokoh adat melalui kesultanan Ternate. Dan cara pelaksanaan juga dilakukan dengan makna-makna kosmologis yang sangat kuat bermunazat kepada Maha Kuasa, “katanya.

Lanjut Zulfikar di sapa Olis menegaskan olehnya itu, menolak ‘Coho Gia Kololi Kie’ (pegang tangan keliling gunung, red). “Karena kami merasa bahwa ritual atau pun tradisi ‘Kololi Kie’ itu, tidak bisa ditambah-tambah dengan satu narasi ‘Coho Gia’ (pegang tangan, red), “imbuhnya

Olis menambahkan jika hal ini tidak digubris oleh pemerintah kota maupun komunitas-komunitas yang menyelenggarakan kegiatan ini, maka pergerakan ini tetap berlanjut.

“Untuk itu, pemerintah Kota Ternate jangan hanya mengejar rekormuri atau hanya merebut pemecah rekor yang tidak berdasarkan pada nilai-nilai budaya sesungguhnya, “jelasnya.

Selain itu, satu hal yang memang menjadi keganjalan dalam kegiatan ini, sehingga memetik kesadaran kami. Dan juga minimnya perhatian pemerintah terhadap infrastruktur yakni pelabuhan hiri yang ada di “Jiko Malamo”. Dan sampai detik ini pelabuhan itu belum di fungsikan sebagaimana dengan pelabuhan yang lain. Akhirnya masyarakat Hiri sampai pada detik ini masih merasa sengsara, jika mereka mau ke Ternate harus melalui Sulamadaha yang notabanennya tidak bisa dikatakan sebagai pelabuhan. Itu adalah bentuk ketidak perhatian pemerintah terhadap infrastruktur disana.

“Padahal jika dilihat secara imarjensinya infrastruktur lebih penting ketimbang dengan kegiatan ICCF yang hanya mengejar rekormuri yang tidak memiliki nilai positifnya, “pungkasnya.

Hal senada disampaikan oleh Koordinator Lapangan Akbar M Dal saat di temui oleh awak media bahwa kami tidak akan lupa, akan adat “se atorang” yang sudah melekat dalam kami punya kehidupan. Bagi kami selama ini, Ternate atau “Si Kurang Mai Dadi Ua” (tidak boleh kasih kurang), “Si Dogo Mai Dadi Ua” (tidak boleh kasih lebih), “Si Aku Ua Mai Dadi Ua” (tidak buat juga tidak bisa) itu adalah titah para tetua kami, “Ungkapnya

“Jika hal ini dilakukan, maka kreativitas yang melanggar identitas dapat melahirkan kehancuran”, Kata korlap dengan tegas.

Lanjut- Akbar bahwa ritua “Kololi Kie” (keliling gunung) itu, keluar dari kadaton kesultanan Ternate.” Bukan dari kantor Walikota atau komunitas-komunitas yang bikin diri pandai, karena ritualnya keluar dari kadaton, “terangnya

Akbar menegaskan mestinya pihak kesultanan Ternate, harus melakukan protes keras soal ini. “Karena yang kami pahami ritual kesultanan Ternate tidak ada cerita istilah pegang tangan keliling gunung. Ini merusak nilai adat dan kebiasaan ritual “Kololi Kie” Kesultanan Ternate, “paparnya.

Olehnya itu, maka pada kesempatan ini kami bersikap berdasarkan hasil kajian kami bahwa menolak serta membatalkan kegiatan ICCF (coho gia kololi kie), menolak alokasi APBD terhadap kegiatan ICCF, dengan menimbang beberapa pembangunan infrastruktur yang memakan waktu lama namun tidak pernah selesai di Kota Ternate, berhenti memanfaatkan ritual adat “se atorang” sebagai instrument kepentingan dalam bentuk seremonial, melarang komunitas-konunitas (khususnya yang berperan dalam kegiatan ICCF) di Kota Ternate.

“Agar tidak secara serampangan mengambil “term” adat istiadat dalam kegiatan-kegiatan seremoni dan Pemkot harus segera mengakomodir tuntutan massa aksi, “tandasnya. (atir)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Banner BlogPartner Backlink.co.id