BudayaJawa TimurWisata

Dibalik Mitos Watu Blorok Di Hutan Dawar Blandong Mojokerto

×

Dibalik Mitos Watu Blorok Di Hutan Dawar Blandong Mojokerto

Sebarkan artikel ini
Dibalik Mitos Watu Blorok Di Hutan Dawar Blandong Mojokerto
Watu blorok

Dibalik Mitos Watu Blorok Di Hutan Dawar Blandong Mojokerto
Watu blorok

Lenterainspiratif.id | Mojokerto –  Watu Blorok menyimpan mitos bagi masyarakat sekitar yang masih diyakini hingga kini yakni jika melewatinya harus membunyikan klakson.

Watu Blorok terletak di hutan Dawar Blandong dan Jetis, pasti melihat sebuah batu dibungkus kain putih berukuran besar di sebelah jalan raya.

Batu ini dianggap keramat sehingga masih menjadi tempat ritual untuk berbagai tujuan oleh sebagian orang. Nampak bekas dupa dan bunga terlihat di area batu yang lokasinya tepat disamping jalan raya itu.

Watu Blorok berada persis di tepi jalan penghubung Mojokerto dengan Gresik. Tepatnya sekitar 100 meter dari permukiman penduduk Dusun Pasinan, Desa Kupang.

“Membunyikan klakson sudah menjadi kebiasaan warga sini saat lewat Watu Blorok. Itu sebagai tanda permisi ke para penghuni yang tidak kasat mata,” kata Musawamah (42), warga Dusun Pasinan.

Musawamah menjelaskan masyarakat Kupang masih meyakini mitos keangkeran Watu Blorok dan hutan di sekitarnya. Kawasan hutan tersebut juga dinamai dengan Watu Blorok. Sejumlah kecelakaan di jalur yang membelah hutan itu diyakini karena gangguan makhluk gaib.

“Ada yang mengaku setirnya direbut makhluk gaib hingga celaka, ada juga yang terjatuh karena mengindari bayangan putih yang melintas. Biasanya karena lewat tidak permisi,” ujar ibu dua anak ini.

Di era modern saat ini, lanjut Musawamah, masih banyak orang yang menggelar ritual di Watu Blorok dengan beragam tujuan. Sisa-sisa ritual memang nampak di lokasi. Mulai dari kembang yang berceceran di atas batu, hingga dupa yang belum habis terbakar.

Warga setempat juga memegang tradisi serupa. Rombongan pengantin biasa melempar uang koin atau ayam saat melintasi Watu Blorok supaya selamat sampai tujuan. Selain itu, warga yang menggelar hajatan biasa mengirim sesaji ke Watu Blorok agar acaranya lancar dan keluarganya selamat.

“Bukannya musyrik, tapi menghormati nenek moyang. Keberadaan kita saat ini karena para pendahulu kita,” terangnya.

Mitos keangkeran Watu Blorok konon terkait sosok Roro Wilis dan Joko Welas. Yakni keturunan kesatria Majapahit yang dikutuk menjadi batu. Kedua nama tersebut diyakini warga setempat menjadi penghuni dua batu di jalur Mojokerto-Gresik tersebut.

Salah seorang warga yang dituakan di Dusun Pasinan Sauji (86) menjelaskan, Watu Blorok dikeramatkan sejak sekitar tahun 1956. Itu berawal dari para petani yang gagal panen karena tanaman mereka pada masa itu dirusak babi hutan.

“Dulu hutan Watu Blorok ditanami sengon, bawahnya ditanami palawija, seperti jagung dan cabai. Saat itu warga Kupang menanam tanpa selamatan. Tanamannya dirusak babi hutan. Setelah kenduri di Watu Blorok, hasil panennya bagus,” jelasnya.

Tradisi kenduri di Watu Blorok, kata Sauji, ditinggalkan warga sejak sekitar tahun 1965. Hingga kini tidak ada masalah serius yang terjadi pada tanaman para petani lokal. Namun, beberapa kebiasaan masih dilakukan warga sampai saat ini.

“Pengendara kalau sembrono bakal kecelakaan. Makanya banyak yang meyakini kalau melintas membunyikan klakson, ada juga yang menaburkan kembang. Saat hajatan juga mengirim sesaji ke Watu Blorok,” tegas kakek 4 cucu ini.

Kepala Desa Kupang Andridi menambahkan, kini tinggal beberapa tradisi saja yang dipertahankan warganya. Yaitu membunyikan klakson saat melintas dan rombongan pengantin membuang uang koin dan ayam di Watu Blorok agar selamat sampai tujuan.

“Kalau ritual, kebanyakan orang luar desa ini. Tujuannya macam-macam,” tandasnya. (ar/tim)