lenterainspiratif.com | Mojokerto – Dengan pasien Covid 19 terus ada penambahan hingga saat ini total pertanggal 14/7/2020 mencapai 157 orang sejumlah kalangan dewan menilai penanganan pandemi virus corona atau covid-19 di Kota Mojokerto lemah.
Moch Rizky Fauzi Pancasilawan, anggota DPRD Kota Mojokerto Fraksi PDI Perjuangan, di jalan Cinde 3, lingkungan Blooto, Kelurahan Blooto, Kecamatan Prajurit Kulon, Senin (13/7/2020) malam dalam penjaringan aspirasi masyarakat mengatakan, Sejumlah warga setempat yang terlibat dalam reses menyiratkan ketidakpuasan terhadap langkah-langkah dan kebijakan Pemkot Mojokerto dalam menangani pandemi corona. Dari soal penyemprotan massal desinfektan, bantuan sosial yang tidak tepat sasaran, bantuan warga terdampak yang bermukim di sekitar rusunawa Cinde yang dijadikan tempat karantina ODP dan PDP hingga polemik wajib bermasker serta penjatuhan sanksi kerja sosial dan denda administrasi yang diatur dalam peraturan walikota.
“Dari kondisi yang berkembang, warga mempertanyakan berbagai hal terkait penanganan pandemi covid-19. Kami bisa memaklumi, apalagi anggaran yang disiapkan sekitar Rp 149 miliar,” kata Rizky.
Sekretaris Fraksi PDI Perjuangan DPRD Kota Mojokerto ini menilai, banyaknya persoalan yang muncul menyertai langkah-langkah yang sudah dilakukan Satgas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Mojokerto akibat manajemen krisis yang masih jauh dari ekspektasi masyarakat.
“Kalau penanganan covid-19 lemah, maka masyarakat yang menjadi korban,” tandas politisi muda yang bertubuh subur ini.
Munculnya Peraturan Walikota Mojokerto Nomor 55 Tahun 2020 tentang Perubahan Atas Peraturan Walikota Mojokerto Nomor 47 Tahun 2020 Tentang Pedoman Tatanan Normal Baru Pada Kondisi Pandemi Corona Virus Disease 2019 Di Kota Mojokerto menurut Rizky menimbulkan polemik di masyarakat. Tidak saja soal penjatuhan sanksi kerja sosial atau denda administratif Rp 200 ribu bagi setiap pelanggar perwali tersebut, namun peraturan kepala daerah itu dinilainya cacat hukum.
“Perwali (55/2020) cacat hukum. Karena ada unsur pidana dalam perwali, antara lain sanksi kerja sosial dan denda administrasi bagi setiap individu yang tidak bermasker saat berada di tempat umum atau fasilitas publik,” tandasnya. Penjatuhan sanksi dan denda administrasi, ujar Rizky, bukan ranah Perwali. “Sanksi pidana hanya bisa diterapkan dalam produk hukum daerah yang mendapat persetujuan DPRD, seperti halnya peraturan daerah,” kata jebolan Fakultas Hukum Unair Surabaya tersebut.
“Sanksi pidana hanya bisa diterapkan melalui produk hukum daerah dengan persetujuan DPRD. Jadi perwali itu cacat hukum, tidak berdasar dan melanggar konstitusi,” katanya.
Pun penindak sanksi yang diberikan kepada Satpol PP kata Rizky tak berdasar. “Sanksi yang berunsur pidana harus melalui putusan pengadilan,” lontarnya.
Terlebih, sambung Rizky, perwali juga mengatur soal tindakan paksa mulai dari pembatasan kegiatan usaha, penutupan atau penghentian sementara, pembubaran kegiatan, penyitaan KTP hingga pencabutan izin usaha jika penanggungjawab kegiatan atau pelaku usaha tidak menjalankan protokol kesehatan secara tepat.
“Penyitaan KTP sama halnya dengan mengebiri hak keperdataan warga. Karena semua akses warga untuk mendapatkan layanan publik maupun kepentingan lainnya tidak lepas dari kewajiban kepemilikan kartu identitas (KTP),” tegas dia. (roe /adv)