Jakarta | lenterainspiratif.id | Tenaga kesehatan (nakes) selama pandemi covid-19 menjadi garda paling depan. Berbagai resiko seperti terpapar covid-19, persekusi hingga meninggal dunia dialami tenaga kesehatan di Indonesia. Untuk itu, Amnesty International Indonesia meminta pemerintah menjamin hak-hak para tenaga kesehatan.
Manajer Media dan Kampanye Amnesty International Indonesia Nurina Savitri mengatakan, para tenaga kesehatan harus dijamin haknya mulai dari kondisi kerja, insentif, hingga melindungi hak mereka yang dilanggar.
“Rekomendasi kami, kami meminta pemerintah menjamin hak-hak tenaga kesehatan atas kondisi kerja yang adil dan mendukung, memastikan pembayaran insentif tepat waktu, serta pemerintah mendengar dan melindungi tenaga kesehatan yang haknya dilanggar,” ujar Nurina di acara dialog bertajuk ‘Dilema Nakes: Bagaimana Pemenuhan Hak-Hak Nakes’ yang diselenggarakan Public Virtue secara daring, Minggu (29/8/2021).
Jaminan hak terhadap para tenaga kesehatan sangat penting karena pada masa pandemi Covid-19 ini mereka merupakan aset terpenting. Dengan demikian, hak mereka harus menjadi prioritas pemerintah sebagai garda terdepan penanganan pandemi Covid-19.
Dalam hal pembayaran insentif terhadap tenaga kesehatan, Nurina mengungkapkan adanya penundaan pembayaran insentif sejak 2020 hingga 2021.
“Selama periode Juni 2020-Juli 2021 ada 26.717 tenaga kesehatan di 21 provinsi dan 36 kabupaten/kota yang pernah mengalami pemotongan atau penundaan insentif,” kata dia.
Adapun jumlah tersebut tersebar di sejumlah wilayah antara lain 4.258 di Bogor (sudah dibayarkan untuk periode -Januari-Februari 2021, periode Maret-Agustus belum dibayarkan), Palembang 3.987 (sudah dibayarkan Oktober-Desember 2020, Januari-Agustus 2021 belum dibayar), Bekasi 3.502 (September 2020 -Juli 2021 belum dibayar). Kemudian Tanjung Pinang 2.900 orang tenaga kesehatan, dan Banyuwangi 1.938 (sudah dibayarkan November 2020-Juni 2021).
Selain itu terdapat beberapa daerah yang penundaan insentif tenaga kesehatannya terlama. Antara lain Labuhan Batu, Sumatera Utara (180 orang tenaga kesehatan pembayaran insentifnya tertunda 16 bulan; Donggala, Sulawesi Tengah (700 orang tertunda 15 bulan); Jombang (1.450 orang tertunda 12 bulan); Enrekang, Sulawesi Selatan (40 orang tertunda 12 bulan), dan Kendari, Sulawesi Tenggara (327 orang tertunda 10 bulan).
“Alasan penundaan insentif yang kami temukan adalah inkonsistensi data, hambatan birokratis bahwa perbaikan data harus di Kementerian Kesehatan, banyak tenaga kesehatan yang berdomisili di luar Jawa, banyak pemotongan di fasilitas kesehatan,” kata dia.
Selain itu, para tenaga kesehatan juga mengalami diskriminasi dan kekerasan sepanjang 2020-2021.Kekerasan dan diskriminasi tersebut jumlahnya tercatat lebih tinggi pada tahun 2020.
Sedangkan tahun 2021 jumlahnya cukup terkendali meski bobot keparahannya tidak berkurang. Kasus yang terjadi antara lain, pemutusan hubungan kerja (PHK), ditolak di tempat tinggal, intimidasi perundungan, dan stigma negatif.
“Pada prinsipnya hak-hak yang melekat pada tenaga kesehatan tidak jauh berbeda dengan yang lain. Tapi karena sekarang penanganan pandemi, maka menurut kami pelanggaran ini seharusnya tidak boleh terjadi. Kalau sudah terjadi, kami merasa negara harus segera turun tangan dan bertanggung jawab,” ucap dia. ( tim )