Lenterainspiratif.id | Surabaya – Melalui acara podcast, Ikatan Alumni Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi Almamater Wartawan Surabaya (IKA Stikosa-AWS), ungkap bisnis prostitusi yang masih terjadi secara sembunyi-sembunyi di lokalisasi Dolly .
Dalam podcast dengan tema Lingkaran Kota Kita itu berjudul Dolly Belum Mati yang di pandu oleh Noor Arief Prasetyo penulis buku “Surabaya Butuh Lokalisasi”, terungkap fakta alur terjadinya prostitusi terselubung di Dolly, mulai dari cara menggaet tamu, kehidupan PSK dan muncikari, tarif, tempat kencan, razia, kondisi sosial Dolly, hingga faktor kesehatan para PSK.
“Lokalisasi dan prostitusi di Dolly adalah ruh dan tubuh. Kini Dolly seperti hantu, bergerak tanpa wujud,” Ujar Noor Arief saat membuka podcast.
Dalam podcast tersebut, Noor Arief mengundang seorang PSK di Dolly berinisial LD. Disitu LD menjelaskan dan mengungkap bahwa prostitusi di Dolly saat ini memang tidak nampak secara nyata, namun para pelaku penjaja seks komersial masih tinggal di Dolly dengan ngekost di bekas wisma yang jadi tempat prostitusi sebelum lokalisasi Dolly ditutup pemerintah.
“Mereka (bekas PSK) dijadikan oleh muncikari untuk bekerja lagi. Tapi tentunya dengan persetujuan anaknya karena kebanyakan kan ngasih nomer telepon ke para muncikari. Kalau ada tamu saya siap dihubungi. Dan mereka stand by nya di kost masing-masing. Kalau ada tamu tinggal kasih fotonya saja, kalau sudah cocok langsung jadi,” ujar LD.
Tanpa adanya wisma seperti dulu, lanjut LD, saat ini muncikari bekerja di jalan-jalan di wilayah Dolly dan di sepanjang Jalan Girilaya. “Kalau ada mas-mas atau bapak-bapak berdiri disitu, biasanya cari tamu,” kata LD. Ia mengaku, aktivitas prostitusi di Dolly hanya berlangsung malam hari. Dimulai pukul 19.00 WIB para muncikari sudah mulai mencari tamu.
Sedangkan untuk tarif yang ditawarkan kepada pelanggan, LD memgaku tidak tahu menahu karena ia hanya terima bersih dari mucikari. “Kalau tarif itu kita biasanya gak ngerti. Kadang minimal itu kita dapat bersih 150 (ribu). Tapi kadang kalau tamu luar kota ditarif 500, kita tetap dapatnya segitu, karena kita tidak tahu transaksi di luar,” ujarnya.
Namun, dia mengaku jika tamu membayar di depan PSK saat usai kencan maka pembagian yang diterima bisa lebih besar. “Kalau tamu deal dan bayar 500 ribu, maka muncikari tidak bisa berbuat apa-apa. PSK dapat 250 dan muncikari 250. Kamar tetap jadi tanggungan muncikari dan 250 itu masih mereka bagi karena bisa dua atau tiga orang muncikari,” katanya.
Untuk tempat kencannya sendiri tidak selalu di rumah kost yang ada di Dolly, ada tamu yang minta di hotel, atau tempat yang sudah di tentukan oleh tamu. Sedangkan untuk biaya kamar biasanya sudah diselesaikan oleh mucikari yang disepakati dengan tamu.
Untuk razia oleh aparat, kata LD, biasanya hanya dilakukan pada hari atau momen tertentu. Misalnya saat menjelang puasa Ramadhan, 17 Agustus, atau Idul Adha. “Kalau hari-hari biasa, gak ada (razia),” ujarnya.
Saat ditanya terkait kondisi kesehatan para PSK, LD menjelaskan bahwa tidak ada pemeriksaan dari Dinas Kesehatan (Dinkes) Surabaya. “Kalau dulu ada (cek kesehatan oleh Dinkes). Kalau sekarang atas dasar kesadaran anaknya sendiri. Kalau mau sehat ya ke dokter sendiri, kalau gak ya sudah, gak ada yang nasihati. Kan kita gak ada bos,” bebernya. ( tim )