Mojokerto, LenteraInspiratif.id – Di dunia yang terus berkembang, keindahan dan keberagaman adalah hal yang seharusnya dirayakan. Namun, masih banyak dari kita yang tanpa sadar melukai orang lain dengan komentar tentang penampilan fisik mereka. Body shaming, tindakan mempermalukan seseorang karena tubuhnya, telah menjadi penyakit sosial yang merusak, baik secara langsung maupun melalui media sosial.
Mengapa ini terjadi? Jawabannya sering kali berakar pada standar kecantikan sempit yang dibentuk oleh media dan budaya kita. Tubuh langsing, kulit putih, atau tinggi badan ideal sering kali dianggap sebagai patokan. Akibatnya, mereka yang tidak memenuhi standar ini kerap menjadi sasaran kritik atau ejekan, meskipun keunikan fisik setiap individu adalah hal yang membuat kita istimewa.
Dampak dari body shaming tidak bisa diremehkan. Data dari ZAP Beauty Index 2020 menunjukkan bahwa 62,2% perempuan Indonesia pernah menjadi korban body shaming, dengan 47% di antaranya dikritik karena dianggap memiliki tubuh terlalu berisi. Lebih lanjut, Mabes Polri pada tahun 2018 mencatat 966 kasus body shaming, sebuah angka yang diperkirakan terus meningkat seiring tingginya aktivitas masyarakat di media sosial.
Dampak psikologisnya pun sangat serius. Korban sering mengalami penurunan rasa percaya diri, kecemasan, depresi, bahkan gangguan makan seperti anoreksia atau bulimia. Dalam beberapa kasus ekstrem, tindakan ini bahkan berujung pada keputusan tragis seperti bunuh diri. Oleh karena itu, mengatasi body shaming menjadi tugas bersama.
Namun, perubahan bisa dimulai dari hal kecil. Berhenti memberikan komentar negatif tentang tubuh orang lain. Jadikan media sosial sebagai ruang untuk menyebarkan pesan positif dan dukungan. Edukasi diri tentang pentingnya inklusivitas, dan ajak orang di sekitar Anda untuk melakukan hal yang sama.
Bayangkan dunia di mana setiap orang merasa nyaman dengan dirinya sendiri, tanpa rasa takut dihakimi. Dunia di mana keberagaman fisik dirayakan sebagai keindahan, bukan sebagai kekurangan. Dengan berhenti melakukan body shaming, kita membantu mewujudkan dunia itu—sebuah dunia yang penuh empati, penghormatan, dan penerimaan.
Saatnya berubah. Mari bersama-sama menghargai keberagaman dan berhenti menghakimi. Karena setiap tubuh adalah cerita, dan setiap cerita layak untuk dihormati.
(Kusumaningtyas A.)