Kasus ini pun mendapat perhatian dari Pemerintah Kabupaten Pacitan. Kepala Dinas PPKB dan P3A, Jayuk Susilaningtyas, menyampaikan bahwa pihaknya siap memberikan pendampingan psikologis dan perlindungan hukum bagi korban, meski hingga kini masih menunggu jalannya proses penyelidikan dari kepolisian.
“Kami sudah melakukan komunikasi dengan UPPA Polres Pacitan. Pada prinsipnya, korban harus mendapatkan perlindungan yang layak dan trauma healing secara maksimal,” kata Jayuk.
Masyarakat pun mengecam keras kasus ini. Aktivis perlindungan perempuan dan anak mendesak agar penanganan dilakukan secara transparan dan akuntabel. Mereka menilai, institusi kepolisian harus menjadi tempat yang aman, bukan justru tempat terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Aiptu LC kini berada dalam pengawasan ketat Propam, dan jika terbukti melakukan tindakan pemerkosaan, ia dapat dijerat dengan hukuman berat sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), serta diberhentikan secara tidak hormat dari kepolisian.
Kisah PW menjadi bukti bahwa pengawasan internal di tubuh Polri masih menyimpan banyak celah. Tragedi di balik jeruji ini diharapkan bisa membuka mata semua pihak akan pentingnya reformasi menyeluruh dalam sistem penahanan dan perlindungan tahanan, khususnya perempuan dan anak.