Opini

Pertambangan Di Maluku Utara, Antara Kesejahteraan Rakyat Dan Ancaman

foto : ilustrasi
Oleh : Suratman Dano Mas’ud, Aktivis PMII, Duta Bahari Maluku Utara 2017
Maluku Utara, Lentera Inspiratif.com
Dalam rangka mencapai kesejahteraan rakyatnya, pemerintah di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota yang berada di Maluku Utara berbondong-bondong melakukan kerjasama dalam bidang perekonomian dan pariwisata dan juga bidang sektor lainnya seperti pertambangan guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Meskipun, banyak juga ‘hutang daerah’ yang sampai saat ini di penghujung masa periode kepemimpinan, belum juga terbayar tuntas.
Maluku Utara, daerah dengan geografinya hampir sebagian besar mencakup wilayah lautan dengan luas wilayah laut 100.731,83 KM² dan luas wilayah daratan 45.087,27 KM², panjang garis pantai 6.644 KM (1/8 dari panjang garis pantai Indonesia), dengan jumlah pulau 805 buah pulau, 82 pulau berpenduduk dan 723 pulau tidak berpenduduk dan jumlah pulau terluar 2 pulau yakni pulau Morotai dan pulau Jiew Halmahera Tengah, (sumber data: BPS Bappeda dan DKP Malukuu Utara 2014 ). Jumlah Desa pesisir: 856 desa (79% dari jumlah total 1.079 desa ),  memiliki banyak Sumber Daya Alam yang tersimpan rapi dalam setiap pelosok daerah. Baik daratan maupun lautan, masing-masing memiliki keunikan dan kekayaan alamnya. Hal ini terbukti ketika adanya agenda Nasional bahkan Internasional telah dilaksanakan di daerah ini. Adapun agendanya, Sail Indonesia di Morotai tahun 2012, Kawasan Ekonomi Khusu di Morotai sampai dengan Festifal Pulau WIDI yang dilaksanakan bulan Oktober 2017.
Dengan adanya agenda Nasional dan Internasional tersebut, tanpa di sadari, mampu membuat perhatian kepada dunia bahwa Maluku Utara layak dijadikan sebagai ‘ladang eksploitasi’ sumber daya alamnya termaksud target illegal fishing nelayan asing. Kontrak karya dan Ijin Usaha Pertambangan menjadi ramai di perbincang dan menjadi agenda-agenda penting pemimpin daerah dan wakil-wakil rakyat.  
Begitu banyaknya perusahan Nasional, swasta maupun perusahan yang sudah memiliki izin beroperasi, tidak sekedar menambah volume APBD dan ‘dompet-dompet berdasi’, namun juga menambah hutang daerah yang bertumpuk. Al hasil, bukanya menjadi solusi kesejahteraan rakyat, malah menjadi ancaman dan mala petaka di tengah-tengan masyarakat.
Pulau Halmahera dan pulau-pulau di sekitarnya menjadi bukti, telah di diami perusahan pertambangan dengan beragam aktifitasnya. Dari Halmahera Utara, Halmahera Barat, Halmahera Timur, Halmahera Tengah, dan Halmahera Selatan maupun pulau Taliabu, pulau Morotai dan pulau Obi adalah ruang gerak aktifitas perusahan tersebut. Kebijakan tidak memihak pada rakyat menjadi hal biasa yang terjadi di seputar aktifitas pertambangan seperti penggusuran lahan dan rumah rakyat tanpa pertanggung jawaban, perampasan ruang hidup rakyat, sampai nadi kehidupan perekonomian rakyat ikut terancam. Kerusakan lingkunan jadi sorotan penting disamping tergeseknya nilai-nilai kemanusiaan, budaya dan lain seperti kerusakan ekosistem laut maupun hutan sebagai habitat burung dan satwa lainnya.
Mengingat Indonesia berada di urutan ke- 4 negara dengan keanekaragaman burung tertinggi setelah Brazil, Peru, dan Kolombia. Dan juga sebagai negara dengan urutan pertama berdasarkan daerah burung endemic. Keberadaan perusahan pertambangan yang ada di Maluku Utara, tidak mestinya mengurangi apalagi menghilangkan habitat burung dan satwa lainnya namun harus menjaga dan melindungi agar terjamin habitatnya.
Masalah lain juga akan terjadi pada pengaturan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil, di mana terdapat benturan dalam peraturan yang berlaku antara Undang-Undang Penata Ruang dan Undang-Undang Pengaturan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Di dalamnya terdapat perbedaan aktor dalam tahap usulan dan tahap  mekanisme penyusunan. Pada tahap pengusulan rencana strategi, rencana zonasi,  rencana pengelolaan, dan rencana aksi, hanya di lakukan oleh Pemerintah Daerah serta Dunia Usaha. Sementara pada tahap mekanisme penyusunan rencana strategi, rencana zonasi, rencana pengelolaan, dan rencana aksi, pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota dilakukan dengan melibatkan masyarakat, sehingga peran dunia usaha sangat besar dalam usulan perencanaan keempat dokumen perencanaan, sedangkan masyarakat hanya dilibatkan dalam mekanisme penyusunan perencanaan,  (baca, Akhmad Solihin: Politik Hukum Kelautan dan Perikanan, Isu, Permasalahan, dan Telaah Kritis Kebijakan).
Apa bila infestor asing telah menguasai suatu daerah atau pulau, maka tidak ada ruang bagi nelayan dalam penangkapan ikan khususnya nelayan kecil dikarenakan hak penguasaan perairan pesesir (HP3) yang diatur dalam Undang-Undang pengaturan pesisir dan pulau-pulau kecil, hanya diberikan batasann dari permukaan laut sampai dasar laut dan tidak diperuntukan bagi nelayan kecil. Sementara Undang-Undang tentang Perikanan menjamin nelayan kecil bebas menagkap ikan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan (WPP) Indonesia begitu juga dengan budidaya ikan kecil. Konflik fertikal juga terjadi antara  sektor pertambangan ( kementerian energi dan sumber daya mineral), pariwisata (kementerian pariwisata), hutan mangrove (kementerian kehutanan), perikanan (kementerian kelautann dan perikanan), dan pelayaran (kementerian perhubungan) mengenai hak penguasaan perairan pesisir.
Para pemimpin dan wakil-wakil rakyat harus mampu memahami dan menyadarinya bahwa lingkungan dan hak-hak masyarakat sebagai kepentingan bersama seluruh lapisan elemen kehidupan dan tidak hanya kepentingan apalagi ‘keuntungan sesaat’. Indonesia, sebagai negara yang megabiodiversiti dengan tujuan wisata tertinggi, pemimpinnya harus mampu mengelolah suber daya alam dan wisatanya dengan baik sebagai salah satu barometer pencapaian kesejahteraan masyarakatnya.
Namun kenyataan yang terjadi, hampir di seluruh wilayah Indonesia yang terdapat aktifitas pertambangan maupun perusahan lainnya tidak mampuh memberikan harapan yang sesuai dengan keinginan masyarakat. Kesejahteraan hanya angin segar yang kemudian berlalu begitu saja, kebahagiaannya hanya bermula pada awalnya. Keterlibatan tenaga kerja masyarakat lokal hanya pada fase awal beroperasinya perusahan dan setelah berjalan waktu, banyak tenaga kerja lokal di berhentikan tanpa sebab.
Seharusnya pemerintah mampu megawasi bahkan mengontrol segala aktifitas yang dilakukan bahkan pada tingkat jual beli. Tidak hanya mengambil keuntungan darinya yang mengakibatkan kesenjangan terus terjadi di dalam masyarakat. Keterlibatan tenaga asing pada aktifitas usaha yang dilakukan harus memiliki target waktu dan semakin lama semakin berkurang, bukan bertambah tenaga asingnya. Sehingga bagian-bagian terpenting dalam pengelolaan perusahaan, kata Moh. Hatta, tenaga kerja lokal dapat melaksanakannya (baca, Revrison Baswir: Manifesto Ekonomi Kerakyatan).
Kabiro Maluku Utara : Iksan Togol
Exit mobile version