
oleh : Roni Agustinus
Seperti yang banyak diketahui, maksud dan tujuan dibuatnya Peraturan Daerah (PERDA) untuk mengatur hidup bersama, melindungi hak dan kewajiban manusia dalam masyarakat, menjaga keselamatan dan tata tertib masyarakat di daerah.
Pada saat pembuatan PERDA pelibatan masyarakat dalam proses pembuatan rancangan Peraturan Daerah sangatlah penting. Karena diharapkan nantinya setelah rancangan peraturan daerah tersebut disahkan dapat mengakomodir seluruh kepentingan masyarakat sehingga tujuan yang diinginkan dapat terwujud dan tidak ada hak-hak masyarakat yang terabaikan.
Oleh karena itu seharusnya Peraturan Daerah (PERDA) bukan hanya peraturan yang bersifat wajib bagi masyarakat di suatu daerah tapi juga tidak boleh melanggar hak-hak dasar manusia seperti tidak diskriminatif dan lebih mementingkan salah satu kelompok.
Didalam suatu diskusi yang panjang bersama kelompok seniman dan budayawan, saya merekam banyak kegelisahan yang muncul karena tindakan aparat pemungut pajak Pemerintah Daerah Kota Malang terhadap komunitas anak muda yang berkreasi dalam dunia musik. Tindakan yang menurut mereka tidak etis karena memperlakukan ekspresi komunitas sama seperti ekspresi hiburan yang bersifat professional dan profit oriented. Dari diskusi tersebut terkuaklah aturan pajak yang menjerat para penyelenggara hiburan tak terkecuali komunitas-komunitas seni kecil yang merasa eksistensinya terhambat karena persoalan pungutan pajak.
PERDA Kota Malang Nomor 2 tahun 2015 merupakan PERDA yang mengatur tentang Pajak Daerah serta bagaimana melaksanakannya. Semua aturan didalamnya berkaitan dengan persoalan Pajak dan objek pajak serta mekanisme pungutan.
Ada banyak Objek Pajak yang ditentukan oleh Peraturan Daerah ini, salah satunya adalah Pajak Hiburan yang tertuang dalam pasal 22. Hiburan yang dipungut pajak adalah a. tontonan film; b. pagelaran kesenian, musik, tari, dan/atau busana; c. kontes kecantikan, binaraga, dan sejenisnya; d. pameran; e. diskotek, karaoke, klab malam, dan sejenisnya; f. sirkus, acrobat, dan sulap; g. permainan bilyar, golf dan bowling; h. pacuan kuda, kendaraan bermotor, dan permainan ketangkasan; i. panti pijat, refleksi, mandi uap/spa, dan pusat kebugaran (fitness centre), dan sejenisnya; j. pertandingan olah raga.
Peraturan berikutnya pasal 25 adalah mengenai tarif pajak, disinilah kita temukan sifat diskriminatif dalam PERDA yang kemudian menjadi soal. Untuk pagelaran musik, tari/ busana dikenakan pajak 15 persen. Kemudian ada penambahan ayat (n) hiburan kesenian rakyat/tradisional sebesar 0 persen.
Lalu menjadi pertanyaan besar, mengapa sangat kontradiktif antara pasal 22 dan 25 ?. Jika (pasal 22) disebutkan objek pajak hiburan adalah pagelaran kesenian dikenakan 15 persen, tetapi menjadi 0 persen (pasal 25) saat menjadi hiburan kesenian rakyat ? Saya mempertanyakan hal ini kepada pembuat PERDA mengenai filosifi perbedaan kesenian tari/musik/tradisional/modern sehingga terjadi perbedaan tarif. Bukankah ini sangat diskriminatif bagi seniman tari dan musik modern atau sejenisnya.
Padahal dalam pasal 22 disebutkan bahwa objek pajak hiburan adalah jasa penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran (tidak terkecuali). Artinya jika pagelaran kesenian dipungut bayaran untuk eksistensi seniman juga akan dikenakan pajak. Dimana rasa keadilan bagi eksistensi dunia kesenian kita? PERDA ini harus dikaji ulang keberadaannya supaya tidak menjadi diskriminatif dan akan mematikan langkah anak-anak muda yang bergeliat di dunia kesenian.
Bahkan pameran dikenakan pajak sebesar 15 persen. Bagaimana kita akan membangkitkan eksistensi perupa kita yang akan melakukan pameran dan membutuhkan produksi serta memberlakukan tiket masuk semata-mata sebagai ongkos produksi, jika terngiang di kepala mereka tentang pungutan pajak yang memberatkan dan diskriminatif. Atau kita akan memberikan cara supaya mereka memakai lable “pameran rakyat” agar menjadi 0 persen.
Jika membuat peraturan mengenai pajak hiburan yang berkaitan dengan kesenian, hendaklah kita semua memahami kesenian kita bukan hanya sebagai industri yang layak dipungut pajak. Tetapi kesenian juga bagian cara bertahan hidup bagi sebagian orang yang bergelut didalamnya. Masih banyak cara lain yang bisa dipakai untuk memungut pajak daripada mengejar eksistensi seniman. Sudah saatnya Pemerintah Kota Malang merevisi Peraturan Daerah ini, untuk mendapatkan pajak hiburan dengan klasifikasi yang jelas dan tidak diskriminatif.
DKI Jakarta memberikan klasifikasi hiburan dalam Peraturan Daerahnya dengan memberikan tingkat kemampuan pertunjukan dan yang layak dipungut pajak. Contohnya dengan memberikan klasifikasi lokal, nasional, internasional. Hal ini dipakai dengan melihat kemampuan jasa penyelenggara hiburan dan potensi seniman-seniman lokal untuk terus berkarya tanpa takut pungutan pajak.
Masih banyak yang ingin saya tuliskan, tapi sepertinya akan lebih baik kita berdiskusi dalam ruang terbuka bersama seniman, budayawan dan penarik pajak serta pembuat aturan.