Opini

Laut Sebagai Jati Diri Bangsa Indonesia

foto : ilustrasi
Penulis : Suratman Dano Mas’ud, Aktivis PMII Kota Ternate, Pengurus Pramuka DKD Provinsi Maluku Utara
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan yang terbentang dari Sabang sampai Merauke yang diliputi keanekaragaman, baik itu agama, budaya, suku, ras, adat istiadat dan bahasa juga beragam pulau-pulau yang memiliki kekayaan dasar lautnya maupun keindahan pantainya yang memiliki daya tarik tersendiri sehingga banyak para wisatawan mancanegara seakan terasa dihipnotis dan berbondong-bondong setiap tahunnya datang di Indonesia untuk berlibur sambil menikmati keindahan pantai yang ada di Nusantara ini.
Negara Indonesia juga dikenal dengan julukan negara bahari dikarenakan hampir dari separuh wilayahnya adalah bahari atau laut. Hal ini tidak menjadi sebuah hambatan bagi penduduknya dalam menjalankan hubungan sosial antar pulau namun justeru menjadikannya sebagai kekuatan dan jati diri masyarakat Indonesia. Laut diajadikan sebagai sarana sosial dalam memenuhi kebutuhan antar sesama manusia yang habitatnya berbeda yang dipisahkan oleh lautan.
Jauh sebelum Indonesia merdeka, berdiri sebagai suatu negara yang besar dan berdaulat, Indonesia atau sering disebut Nusantara, sudah memiliki kerajaan yang besar dan dikenal di dunia seperti Sriwijaya dan Majapahit. Kedua kerajaan Sriwijaya dan Majapahit ini juga handal dalam hal kebaharian sehingga terkesan masyarakat Indonesia soal kebaharian, bukan menjadi hal yang baru. Kerajaan Goa dan Talo juga telah menunjukan eksistensinya dalam hal kebaharian sehingga menjadikannya sebagai kerajaan maritim dari timur Indonesia. Dengan membuat kapal-kapal layar yang dijadikan sebagai instrumen dalam melakukan ekspansi kekuasaan maupun penyebaran agama dan juga perdagangan.
Selain kerajaan Goa dan Talo di Makassar, juga terdapat kerajaan Ternate dan Tidore disamping juga terdapat kerajaan Jailolo dan Bacan yang memiliki peran penting di wilayah Maluku, Maluku Utara dan Papua dalam menunjukan eksistensinya dalam ekspansi kekuasaan dan perdaganggan serta agama serta mengusir kolonialisme dan Imprealisme di tanah Moloku Kie Raha. Patut dicatat bahwa penyebaran kekuasaan kerajaan atau kesultanan yang berada di Moloku Kei Raha, jauh berbeda dengan kerajaan-kerajaan yang berada di tanah Jawa.
Perbedaannya adalah bahwa sering kita ketahui bahwa kerajaan Jawa dalam melakukan ekspansi dengan cara perlawanan atau peperangan, sedangkan kerajaan yang berada di Moloku Kie Raha dalam melakukan ekspansi kekuasaannya dengan cara pendidikan dalam hal ini membentuk moral memalui pengajaran agama. dan hal ini sudah dilakukan bahkan sejak masa kejayaannya Sultan Nuku (1797-1805) ketika berdaulat di samudrea menuju kebangkitan maritim dan sudah dikenal oleh para imprealsi barat.
Indonesia tanah airku, adalah baris pertama dari bait pertama lagu Indonesia Raya, lagu kebangsaan Republik Indonesia. Bait lagu ini mengandung makna bahwa negara Indonesia terdiri dari tanah (pulau-pulau) dan air (laut). Bagi bangsa Indonesia, keberadaan tanah (pulau-pulau) dan air (laut) memang tidak bisah dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Pulau-pulau dan laut diakui sebagai satu kesatuan yang membuat bangsa ini ada.
Karena itu, dalam berbagai literatur Indonesia tentang geografis atau politik (juga tentang sejarah, ekonomi, sosial dan budaya) sering ditemukan pernyataan-pernyataan yang berbunyi “Laut Jawa menghubungkan Pulau Jawa dengan Pulau Kalimantan, Selat Sunda menyatukan Pulau Sumatera dengan Pulau Jawa, Selat Makassar menghubungkan Pulau Sulawesi dan Pulau Kalimantan” dan lain sebagainya. Pulau-pulau dan laut itu saling sambung-menyambung, dan dari proses itulah lahirnya serta adanya Indonesia.
Lahirnya Konsepsi Djuanda tahun 1957 serta Konsep Wawasan Nusantara yang dituangkan dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1988 merupakan tonggak-tonggak penting pengakuan bangsa Indonesia terhadap keterpaduan antara tanah (pulau-pulau) dan air (laut) bagi penyatuan dan kesatuan bangsanya. Keputusan yang diambil oleh para pemimpin bangsa dan wakil-wakil rakyat itu mengukuhkan ungkapan “Indonesia Tanah Airku” sehingga menjadikan negara ini sebagai sebuah Negara Kepulauan, sebuah negara yang wilayahnya terdiri atas tanah (pulau-pulau) dan air (laut). Singkatnya Konsepsi Djuanda dan Wawasan Nusantara menegaskan bahwa kepulauan Indonesia yang terdiri atas pulau-pulau dan laut itu merupakan satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan keamanan yang utuh serta tidak bisa dipisah-pisahkan.
Diterimanya ide dasar dari Konsepsi Djuanda dan Konsep Wawasan Nusantara (sekaligus konsep tentang Negara Kepulauan) yang diperjuangkan Indonesia oleh dunia internasional lewat United Nations Convension on the Law of the Sea (UNCLOS) No.82 tahun 1982 membuat semakin utuhnya makna ungkapan “Tanah Air” (perpaduan antara tanah dan laut) bagi Indonesia. Pengakuan dunia internasional itu menyebabkan tidak ada lagi laut bebas di antara pulau-pulau yang dimiliki Indonesia. Dahulu dunia internasional hanya mengakui wilayah laut suatu negara sejauh 3 hingga 12 mil laut dari pinggir pantai. Bangsa Indonesia pun pada mulanya sejak tahun 1939, berdasarkan Territoriale Zee en Maritime Kringen (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim) juga mengatakan bahwa laut teritorialnya hanya sejauh 3 mil, dan sejak tahun 1957 melalui pengumuman Pemerintah yang juga dikenal dengan Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957 mengatakan bahwa laut teritorialnya sejauh 12 mil dari garis air surut pulau-pulau atau bagian-bagian pulaunya (Staatsbland 1939, No. 22 dan Pengumuman Pemerintah 13 Desember 1957, serta Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.4 Tahun 1960 tentang Perairan Indonesia). Akibat keputusan itu menyebabkan perairan (laut pedalaman) yang berada diluar jarak 3 mil (dan kemudian 12 mil) dari pantai pulau-pulau Indonesia manjadi bagian dari laut bebas.
Laut tidak hanya sebagai alat pemersatu bangsa, tetapi ia juga telah memainkan peranan yang besar dalam sejarah pertumbuhan masyarakat dan bangsa Indonesia. Lewat lautlah nenek moyang orang Indonesia yang dikatakan berasal dari Hindia Belakang mencapai negeri ini. Lewat laut pulalah berbagai peradaban dan kebudayaan dari berbagai belahan dunia, seperti dari India, Cina, Arab, dan kemudian dari Eropa masuk ke negara ini. Disamping itu, laut juga menjadi lahan tempat sebagian besar orang Indonesia, langsung atau tidak langsung mencari nafkah.
Namun yang terjadi selama ini adalah suatu kesenjangan tentang penghargaan dan pemanfaatan antara kawasan laut dan daratan. Untuk kurun waktu yang lama, laut hampir tidak pernah diperhatikan dengan seksama. Kecuali untuk kepentingan politis seperti yang disebutkan di atas, demi persatuan dan kesatuan, demi penguasaan (secara verbal) atas kawasan perairannya, penghargaan akan arti dan sumbangan laut dimasa lalu bagi bangsa Indonesia, serta pemanfaatan segala potensi yang dimilikinya hampir terabaikan sama sekali.
Kecuali di ucapkan lewat slogan “Nenek Moyangku Orang Pelaut” dan “Kita Bangsa Bahari dan Kita Keturunan Para Pelaut”, hampir tidak dikenal lagi bentuk-bentuk penghargaan oleh orang Indonesia terhadap diri mereka dan masa lalu mereka sebagai bangsa bahari.
Di masa awal kehadiran bangsa eropa di pusat rempah-rempah dunia di Indonesia, aktifitas penduduk lokal sudah bersatu dengan kehidupan laut khususnya dalam dunia perdagangan dengan sistem barter atau tukar-menukar barang dari Indonesia dengan negeri seberang lautan. Misalnya pedagang dari India, Gujarat, Cina dan Jepang bahkan diakhir-akhi perkembanggannya dengan bangsa Eropa yang begitu kagum dan berapi-api dalam pencarian pusat rempah-rempah sampai  ke Hindia Timur khususnya wilayah Kepulauan Banda, Maluku dan Ternate-Tidore (sekarang menjadi sebuah Provinsi di Negara Republik Indonesia). Hal ini menunjukan bahwa antusias masyarakat Indonesi begitu besar terhadap kelautan atau dunia bahari pada masa-masa sebelumnya.
Dari uraian penulisan di atas, penulis mencoba mengambil suatu kesimpulan penting bahwasanya bangsa Indonesia yang secara geografis bahwa hampir dari separuh wilaya kita Indonesia adalah dikelilingi oleh laut dan ini merupakan aspek penting terhadap kehidupan masyarakat terhadap kebaharian atau kelautan. Karena laut tidak hanya dipandang sebagai jalur pelayaran dan hubungan sosial masyarakat antar pulau, namun laut juga menyimpat kekayaan alam yang melimpah ruah sehingga dapat menjadikannya sebagai tempat pencarian kehidupan masyarakat.
Selain itu juaga, laut dipandang secara geokultural yang di sana menyimpan berbagai aspek dan nilai budaya masyarakat lokal yang begitu banyak yang menjadikan itu sebagai ciri-ciri budaya masyarakat lokal di berbagai daerah pulau dan kepulauan. Dan Indonesia memandang laut sebagai suatu kesatuan.
Kabiro Maluku Utara : Iksan Togol
Editor : Didit Siswantoro
Exit mobile version