foto : ilustrasi
Oleh : Suratman Dano Mas’ud Alumni IAIN Ternate, Aktivis PMII
Sepuluh mil lebih ke laut, sudah bisa tercium sebelum terlihat. Suatu aroma yang menggelayut di udara, dan jauh sebelum gunung mirip topi pemain kriket terlihat di cakrawala, anda tahu anda telah mendekati sebuah pulau yang merupakan induk atau pusat dapurnya kepulauan rempah-rempah. Pulau RUN merupakan sebuah pulau yang menghasilkan pohon pala yang melimpah ruah sehingga tidak terlihat pohon lain di pulau itu selain pohon pala atau oleh para botanis, tumbuhan ini disebut Myristica fragrans. Pala, biji tumbuhan itu, adalah kemewahan paling di idamkan di Eropa abad ke enambelas dan tujubelas.
Komoditi lokal yang berasal dari Hindia Timur ini (Pala, Cengkih, Lada dll), merupakan ajang perebutan bangsa-bangsa Eropa pada zaman itu. Puluhan nyawa yang hilang akibat berbagai macam penyakit yang datang menghampiri ketika hendak perjalanan menuju ke kepulauan rempah-rempah, tidak menyurut semangat para pelaut Inggris, Spanyol, Portugis, dan Belanda untuk berlomba-lomba mencari pusat-pusat perdagangan rempah-rempah di Hindia Timur.
Kedatangan bangsa Inggris, Spanyol, dan Portugis di Nusantara merupakan tamu terhormat bagi raja-raja maritim dipusat-pusat perdagangan di Hindia Timur, misalkan raja Aceh di Sumatera, Banten dan Madura di Jawa, Makassar di Sulawesi Selatan, kepala-kepala suku atau tuan tanah di Maluku dan Kerajaan Ternate dan Tidore. Mereka disambut dengan meriah dan berlangsungnya perdagangan dengan baik dan kembali membawakan muatan yang memadai dan menyenangkan hati. Lain halnya dengan Belanda.
Kesan Belanda pertama kali di Indonesia; Awal kedatangan pertama Belanda di Sumatera yang komandan kapalnya Cornelis Houtman, penduduk setmpat melakukan barter dengan para pelaut Belanda itu dengan beras, semangka, air dan buah langsa, dengan perhiasan dan keramik kecil. capten mauritius/jan maulinaer dengan mengunakan kapal Amsterdam. Namun, kesan yang coba digambarkan oleh para pelaut asal Belanda itu nyaris membuat suasana yang begitu mengesankan. Hal ini berbeda ketika kapal-kapal Belanda tiba di Banten, mereka melakukan pembrutalan dan membom seluruh kota Banten saat itu. Kesan seperti ini yang menggambarkan wujud kedatangan Belanda di Nusantara (Hindia Timur) diakibatkan oleh harga rempah-rempah melambung tinggi yang diprediksi sebelumnya ternyata berbenturan dengan kondisi yang ada di lokasi perdagangan rempah.
Lain halnya lagi ketika sampai di Madura, meskipun pangeran dan penduduk setempat menyambut dengan ramah dan penuh dengan iring-iringan, disangka penyergapan karena telah mengetahui sikap mereka ketika tiba di Banten. Sehingga seluruh iring-iringan yang mendekat dengan perahu dihancurkan dengan meriam bahkan pangeranpun Madura pun ikut terbunuh.
Hasrat dibalik ekspedisi kepusat rempah-rempah ternyata bukan hanya tuntutan ekonomi lokal yang mengharuskan para pelaut tersebut berlayar keluar batas yang tak pernah dibayangkan, bahkan bukan karena semata-mata titah raja maupun ratu yang memerintah ataupun persaingan ekonomi pedagang lokal yang menuntut agar adanya bahan perdagangan yang baru. Hal ini terlebih lagi dapat kita lihat dalam bukunya Giles Milton tentang Pulau RUN; Magnet Rempah-Rempah Nusantara Yang Ditukar Dengan Manhatan yang merupakan sebuah daerah yang berada di Amerika. Ternyata hal ini didorong oleh sutu keadaan sosial masyarakat diwilayah Inggris khususnya, pala, cengkih dan rempah-rempah lainya merupakan obat khasiat yang menghilangkan wabah penyakit menular yang jikalau digambarkan ‘diawali dengan bersin dan diakhiri dengan kematikan’. Hingga kini pala digunakan untuk menyembuhkan perut kembung dan demam biasa yang merupakan benda berharga yang diburu seperti emas. Suatu jenis rempah yang memiliki khasiat pengobatan begitu khasiat sehingga orang-orang mempertaruhkan nyawa mereka untuk memperolehnya.
Begitulah gambaran singkat betapa semangatnya para pelaut Inggris dalam mencari pusat rempah-rempah di Hindia Timur. Awalnya mereka mencari tahu keberadaan dimana rempah-rempah itu tumbuh, walaupun tak seorangpun ketika itu meyakini dari mana tempatnya pala yang sulit didapat ini berasal. Para pedagang London, sesuai tradisi, membeli rempah-rempah mereka di Venesia, dan para pedagang Venesia pada gelirannya membeli rempah-rempah mereka dari Konstantinopel. Namun, pala berasal dari Hindia yang dikabarkan terletak jauh di luar cakrawala yang lamur. Bahkan para pedagang Konstantinopel nyaris tidak memiliki informasi mengenai pulau-pulau tersebut.
Ada satu rintangan terhadap permintaan yang tiba-tiba dan mendesak ini: maka tak satu pun menghalangi para pedagang pemburu keuntungan dari Eropa yang akan mempertaruhkan apa pun dalam kenekatan mereka untuk jadi yang pertama dalam menemukan sumber pala. Dalam waktu singkat, kapal-kapal dari Portugal, Spanyol, dan Inggris tenggelam dalam keriuhan pembuatan kapal, yang dikenal sebagai perlombaan rempah, sebuah perjuangan yang nekat dan berkepanjangan untuk menguasai satu dari kelompok kepulauan terkecil di dunia itu. Dan pada tahun 1511, Portugis menjadi bangsa Eropa pertama yang menginjakan kaki di Kepulauan Banda.
Hasrat yang lain juga, coba digambarkan dalam bukunya Jack Turner; Sejarah Rempah Dari Erotisme Sampai Imperialisme yang mengambarkan kondisi masyarakat Eropa yang begitu bosan dengan rasa makanan yang dialami pada abad pertengahan karena rendahnya taraf kehidupan dimasa itu. Sehingga, terpiculah kebutuhan besar akan suplai lada, jahe dan kayu manis dalam jumlah besar untuk menyamarkan rasa asin garam dan daging yang sudah lama dan membusuk. Rempah adalah katalis penemuan dan secara tidak langsung dalam frase yang sangat sering digunakan oleh kalangan sejarawan populer ‘merekonstruki ulang dunia’.
Demi rempah-rempah, kekayaan datang dan pergi, kekuasaan dibangun untuk kemudian dihancurkan dan bahkan sebuah dunia baru ditemukan. Selama ribuan tahun, selera akan rempah terbentang di sekujur planet bumi dan dalam prosesnya mengubah dunia. Tidak berlebih pula bila dikatakan bahwa kerajaan kolonial Portugis, Inggris, dan Belanda di Asia dibangun atas dasar pencarian kayu manis, cengkih, lada, pala dan bunga pala. Fenomena yang sama juga terjadi dalam proses kolonialisasi Amerika. Nafsu akan rempah nyatanya dapat memunculkan energi yang tercurah secara luarbiasa dan tak ada bandingannya, baik pada saat kelahiran dunia modern maupun dalam beberapa abad atau bahkan ribuan tahun sebelumnya.
Dengan demi kian, begitu pentingnya rempah-rempah baik bagi para pedagang maupun bagi kesehatan dan aroma cita rasa dan pengawetan dagin khususnya masyarakat Eropa saat itu. Bahkan rempah-rempah memberi pengaruh terhadap tokoh-tokoh penting sehingga dalam sejara mereka akhirnya dikenal sebagai pengubah sejarah dunia, mulai dari Yesusu Kristus, Ibnu Sina sampai gadis-gadis grup pop Spice Girls. Dari Firaun Ramses hingga Marco Polo, Christopher Columbus, dan Vasco da Gama.
Namun, saat ini kondisi komoditas asli Indonesia ini, mampukah mengubah nasib rakyatnya seperti halnya nasib masyarakat Eropa pada masa lalu, dengan memanfaatkannya sebagai upaya peningkatan kesejahteraan rakyat Indonesia dimasa sekarang? Sayangnya, pengunaan komoditas lokal yang mendunia ini hanya diperuntuhkan bagi sama halnya dengan proses penjualannya dimasa lalu dan tidak ada efek yang lebih menguntungkan. Meskipun, di internal, pengelolaannya digunakan sebatas sirup pala yang belum maksimal dalam sisi ekonomi rakyat. Terlebih lagi, esensi dari spirit ekspedisi rempah-rempah ke Hindia Timur (sekarang Indonesia), hilang dan terkesan yang tertinggal hanyalah tembok-tembok rapuh yang diperbaiki sebagai jejak sejarah bangsa dan sebagai tempat-tempat wisata.
Kabiro Maluku Utara : Iksan Togol
Editor : Didit Siswantoro