Lenterainspiratif.com, JAKARTA — Sampai saat ini sudah ada 309 pasien yang positif terjangkit virus corona. Netizen pun khawatir, tagar #Indonesia_LockdownPlease menjadi trending di Twitter.
Lockdown sendiri artinya negara mengunci akses masuk dan keluar masyarakatnya di dalam suatu daerah. Namun, sebetulnya ada dampak ngeri menanti Indonesia apabila lockdown dilakukan.
Untuk itu pemerintah harus hati-hati apabila mau mengambil langkah lockdown. Masyarakat miskin akan menjadi pihak yang paling terdampak dengan kebijakan ini. Pendapat an masyarakat kelas menengah ke bawah akan menurun apabila lockdown dilakukan.
“Pendapatan kalangan menengah bawah pastinya akan terdampak bahkan jauh lebih besar tekanannya dibandingkan kelas atas jika lockdown dilakukan. Kesehatan masyarakat tentu penting, tapi perlu dicatat, apakah pemerintah siap menanggung pendapatan kelas bawah yang hilang,” ungkap Peneliti Indef Bhima Yudhistira, seperti dikutip dari detikcom, Kamis (19/3/2020).
“Kita tidak bisa hanya bicara lockdown tanpa melihat konsekuensi ke orang miskin,” tegasnya.
Bhima mengatakan masyarakat yang berada di garis kemiskinan kebanyakan merupakan pekerja di sektor informal, yang mendapatkan pendapatannya harian di luar rumah. Dia memberi contoh pengemudi ojek online (ojol) ataupun pedagang kaki lima, kalau lockdown dilakukan bagaimana mereka bisa bekerja dan mendapatkan uang.
“Pekerja di sektor informal sebut saja driver ojol, dan pedagang kaki lima tidak siap di-lockdown karena mereka bekerja di luar rumah,” ungkap Bhima.
Dia memberikan contoh, sebutlah penghasilan pengemudi ojol Rp 100 ribu per hari, apabila lockdown dilakukan selama dua minggu saja maka para pengemudi akan kehilangan uang pendapatan Rp 1,4 juta. Sementara itu, mereka masih harus menanggung cicilan motor, tagihan listrik, hingga sewa kontrakan.
“Bayangkan dalam satu hari penghasilan ojol rata rata 100 ribu, per orang akan kehilangan Rp 1,4 juta jika asumsi lockdown dilakukan dua minggu. Mereka harus bayar utang cicilan motor, biaya listrik, kontrakan dan pengeluaran rutin lainnya,” papar Bhima.
Bhima juga menyebut lockdown bisa saja memicu wabah kelaparan. Apalagi kalau lockdown dilakukan tanpa persiapan yang matang.
“Bukan hanya kita menghadapi wabah corona, tapi juga wabah kelaparan massal apabila lockdown tidak disiapkan matang,” ungkap Bhima.
Bahhkan, Bhima menceritakan di Wuhan, China pun banyak orang yang tersiksa karena lockdown. Dia mengatakan banyak pekerja yang putus asa dan akhirnya keluar rumah untuk mencari makanan karena takut anaknya kelaparan sementara pasokan pangan sudah menipis.
“Belajar dari kasus lockdown di Wuhan, banyak pekerja yang nyaris putus asa dan akhirnya memberanikan diri keluar rumah karena khawatir anaknya kelaparan,” tutur Bhima.
Bagi orang Wuhan, menurut Bhima, mereka tak takut lagi corona. Mereka lebih khawatir kelaparan dan tak bisa bayar utang di tengah lockdown.
“Mereka tidak takut corona, mereka takut kelaparan dan tidak bisa bayar utang,” pungkas Bhima.
Secara ekonomi makro, sebelumnya Bhima mengatakan bahwa apabila lockdown dilakukan bisa saja ekonomi Indonesia krisis. Kok bisa?
Sejauh ini 70% pergerakan uang dalam perekonomian nasional berada di Jakarta. Akan sangat berisiko bila aktivitas perekonomian lumpuh karena melakukan lockdown di Jakarta.
“70% uang juga berputar di Jakarta, ada Bursa Efek, ada bank sentral. Terlalu berisiko kalau kita mengambil langkah lockdown,” kata Bhima.
Belum lagi pasokan bahan baku pokok bagi masyarakat Jakarta akan terhambat, utamanya pangan. Sejauh ini, menurut Bhima, Jakarta mengandalkan pasokan pangan dari luar daerah.
“Arus barang yang masuk juga terganggu. Jakarta mengandalkan sebagian besar bahan pangan dari luar daerah,” papar Bhima.
Sementara itu Jakarta juga menyumbang 20% angka inflasi nasional. Kalau barang langka di Jakarta dan berujung pada kenaikan harga secara lokal, maka angka inflasi nasional bisa saja terkerek hingga 6%.
“Sementara Jakarta menyumbang 20% total inflasi nasional, kalau barang susah masuk, terjadi kelangkaan pastinya inflasi nasional akan tembus di atas 4-6%. Yang rugi adalah masyarakat sendiri,” kata Bhima.
Daripada lockdown, menurutnya banyak hal yang bisa dilakukan pemerintah. Mulai dari mendorong kebijakan social distancing, hingga melacak penyebaran virus dengan teknologi Artificial Intelligence (AI).
“Masih banyak alternatif yang bisa dilakukan pemerintah meniru Korsel, Jepang atau Singapura. Misalnya mendorong social distancing, tracing suspect dengan teknologi AI,” kata Bhima.
Pemerintah juga harus segera menyiapkan pembangunan rumah sakit darurat. Lalu stok farmasi dan obat-obatan harus dijaga.
“Pemerintah juga harus membangun banyak RS darurat yang baru, serta menjaga stok farmasi dan obat-obatan tetap stabil,” jelas Bhima. (tim)